Jumat, 05 November 2010

Sejarah dan Relevansi Pemikiran Aliran Khawarij, Syiah, Asyariyah dan Muktazilah

BAB I
PENDAHULUAN

I.          Latar Belakang Masalah

Rasullah Bersabda: “Akan terpecah Ummatku menjadi 73 sekte, 1 sekte yang selamat dari padanya yang lainnya binasa. Nabi ditanya: Siapa yang selamat ya Rasullah? Rasul menjawab: Ahl as-Sunnah wa al-jama’ah. Rasul ditanya lagi: Apa Ahl as-Sunnah wa al-jama’ah itu? Rasul menjawab: Yang aku sekarang ini dan para sahabatku” (Al-Hadits)

Berangkat dari hadits Rasulullah yang menggambarkan tentang kondisi akhir zaman, bahwasanya ummat Islam akan terpecah menjadi 73 Golongan, hal inilah yang menarik penulis untuk menggambarkan peta perpecahan dalam pemikiran ummat islam dunia khususnya pada masa sepeninggalan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Apa menjadi dasar pemikiran para sahabat sepeninggal Saidina Ali masih sangat kental pemahamannya terhadap Islam yang fundamental, walaupun peran akal menjadi salah satu alat ijtihad yang digunakan para sahabat dalam menjawab berbagai problematika ummat.
Peran akal yang sekarang sering kita sebut rasional merupakan interpretasi ummat terhadap problematika dan tantangan zaman dari masa ke masa, Asy-syahrastani menggungkapkan hal ini menjadi beberapa persoalan:
Pertama;    masalah sifat dan keesaan Allah, termasuk sifat azali-Nya, dimana sebagian sekte mengakui adanya dan sebagian menolaknya. Demikian pula tentang sifat wajib, jais dan mustahil bagi zat-Nya.
Kedua;        masalah qadha, qadar dan keadilah Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang berada diluar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas
Ketiga;        masalah wa’ad dan wa’id (janji dan ancaman) dan asma Allah. Demikian pula tentang hokum-hukum Allah yang meliputi masalah iman, tauhid, janji ancaman, janji memberi harapan, kekafiran dan kesesatan
Keempat;    masalah wahyu, akal, kenabian (nubuwah), [kehendak Allah mengenai] yang baik dan yang lebih baik, imamah, kebaikan dan keburukan kasih sayang Allah, kesucian para nabi, syarat-syarat imamah[1]


Keempat persolan diatas menjadi bahan kajian aliran-aliran teologi dalam Islam, dalam berbagai pandangannya mengalami perbedaan-perbedaan yang sangat signikan dan cendrung saling menyalahkan bahkan mengkafirkan satu sama lain.

II.        Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah makalah singkat ini adalah:
1.      Bagaimana sejarah perkembagan pemikiran Teologi dalam islam (setelah para sahabat)?
2.      Apa Pokok-pokok pemikiran Aliran teologi dalam islam?
3.      Bagaimana Relevansi pemikiran Aliran teolgi Islam dengan realitas hari ini?

III.    Pokok Pembahasan

Adapun yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah singkat ini adalah sebagai berikut:
1.      Sejarah perkembagan pemikiran Teologi dalam Islam setelah para sahabat dan hubungannya perkembagan politik yang terjadi saat itu
2.      Pokok-pokok pemikiran Aliran teologi dalam Islam Relevansi pemikirannya dengan realitas hari ini?



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Sejarah Munculnya Teologi Dalam Islam

Sejarah ini bermula dari dari pemerintahan Saidina Ali bin Abi Thalib, Setelah Utsman Wafat, orang-orang Madinah membai’at Ali bin Abi Talib sebagai Khalifah, akan tetapi pengangkatan ini dipandang sebagian kaum muslimin kurang lazim, karena kota Madinan ketika itu sedang dikuasai oleh kaum pemberontak, sedangkan para sahabat hanya sebagian kecil yang berada di Madinah seperti Thalhah dan Zubair. Kedua sahabat ini turut membai’at Ali bin Abi Talib karena desakan para pembai’at ketika itu.[2]
Sejak saat itu ummat Islam pecah menjadi tiga golongan (partai), yaitu 1. Golongan pendukung Ali bin Abi Talib, 2. Ummat yang menuntut atas kematian Utsman bin Affan, mereka dikepalai oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 3. Yang tidak setuju dengan tuntutan Mu’awiyah dan tidak setuju dengan pengangkatan Ali, mereka dipimpin oleh Thalhah, Zubair dan ‘Aisyah, yang dalam sejarah di catat Thalhah meninggal dalam perang Jamal (perang Unta), dan aisyah di tawan dan kembalikan serta diperlakukan sebagai ummul mukminin pada tahun 36 H. (567 M.)
Perang Jamal memang telah selesai, akan tetapi perselisihan antara sesama ummat Islam belum berakhir, karena masih ada dua golongan yang bertentangan, yaitu parta Ali dari keluarga bani Hasyim dan partai Mu’awiyah pemimpin keluarga Bani Umayyah.
Partai Bani Umayyah menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan atas Utsman bin Affan. Oleh karena itu perselisihan timbul kembali antara keluarga bani Hasyim dan Bani Umayyah sebagaimana pada masa Jahiliah dahulu.

Perang Seffein

Khalifah Ali mendengar kabar bahwa Mu’awiyah telah bersiap lengkap akan memeranginya. Oleh kerana itulah Ali bersegera mengerahkan pasukannya untuk menghadapi serangan musuhnya itu di Siffein. Di Siffein di tempat sebelah barat sungai Euphrat, laskar Ali bertemu dengan laskar Mu’awiyah, lalu terjadilah pertempuran dahsyat antara kedua laskar tersebut, pertempuran ini terjadi selama 40 hari. Dalam pertempuran itu pihak Ali hampir memperoleh kemenangan, sedangkan Mu’awiyah sudah berfikir hendak melarikan diri. Akan tetapi karena tipu daya Amru bin al-‘Ash yang berperang dipihak Mu’awiyah, maksud pelariannya itu diurungkanlah oleh Mu’awiyah. Kemudian ‘Amru bin al-‘Ash menyuruh laskarnya menusuk Mushaf (Qur’an) dengan ujung lembingnya, lalu dinaikkan sebagai tanda hendak berdamai dengan tunduk kepada al-Qur’an. Melihat hal ini tentara Ali terperdaya, lalu mereka mendesak Ali untuk menghentika perang, Ali bersikukuh hendak melanjutkan peperangan karena ia yakin perdamaian Mu’awiyah hanyalah tipu daya belaka, namun pasukannya selalu mendesaknya untuk berdamai, terpaksalah Ali mengikuti kemauan kebanyakan pasukannya. 
Setelah kedua belah pihak sepakat mengadakan majlis tahkim yang akan memutuskan perselisihan itu, Ali mundur dengan tentaranya ke Kufah dan laskar Mu’awiyah mundur ke Syam. Dalam perdamaian yang akan diadakan itu, pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari seorang tua yang lurus hati, dan pihak Mu’awiyah diwakili oleh ‘Amru bin al-‘Ash seorang ahli siasat Arab yang terkenal licin[4].

Korban perang Siffein

Dalam pertempuran Siffein dimana kedua belah pihak bertemu di laga sampai 90 kali, menimbulkan banyak korban dari kedua belah pihak. Di pihak laskar Ali gugur 25.000 orang dan dari pihak laskar Mu’awiyah 45.000 orang.
Setelah Ali mengundurkan sentaranya ke Kufah, sebagian pengikutnya mendurhakainya, kaum pendurhaka itu dikenal dengan parti Khawarij (partai yang keluar dari golongan Ali). Sebab timbulnya pendurhakaan itu adalah karena mereka berpendapat bahwa Ali melakukan kesalahan besar tentang pemberhentian perang dan menerima tahkim, sedang dia hampir saja memperoleh kemenangan. Mereka mendesak Ali supaya meneruskan peperangan, tetapi Ali tidak mau melanggar janji yang telah dibuatnya dengan Mu’awiyah, walaupun hal itu semula tidak disetujuinya. Oleh karena itu kelompok ini mengadakan perlawanan dan membuat keributan dan kerusakan dimana-mana. Jumlah mereka kira-kira 12.000 orang[5].
Kaum pendurhaka ini sebagian dapat ditindas oleh Ali dan yang sebagian yang lain melarikan diri, dari mereka itulah timbul partai Khawarij kemudian, yaitu golongan ummat Islam yang keras, yang tak mau tunduk dibawah kekuasaan Khalifah manapun. Semboyan mereka adalah: ‘Kekuasaan hanyalah di tangan Tuhan’.

Hasil Tahkim

Setelah datang waktu tahkim sesuai dengan perjanjian, para wali dari kedua belah pihak berkumpul di Dumatul Jandal. Utusan Ali berjumlah 100 orang dikepalai oleh Abu Musa al-Asy’ari dan utusan Mu’awiyah banyaknya juga 100 orang dikepalai oleh ‘Amru bin al-’Ash, sedang Mu’awiyah sendiri termasuk dalam jumlah 100 itu.
Dengan tipu-daya yang licin ‘Amru bin al-’Ash dapat mengalahkan Abu Musa yang lurus hati itu dalam persidangan majlis tahkim. ‘Amru bin al-’Ash menerangkan kepada Abu Musa bahwa untuk menjadi dasar perundingan, maka Ali dan Mu’awiyah diturunkan dari pangkat Khalifah. Sesudah itu soal Khalifah diserahkan kepada ummat Islam dan kepada mereka diberikan kemerdekaan seluas-luasnya tentang siapa yang akan mereka pilih menjadi Khalifah.
Keterangan ‘Amru bin al-’Ash ini diterima oleh Abu Musa dengan sejujur hatinya untuk menjadi dasar perundingan. Di  hari persidangan di Daumatul Jandal itu (suatu tempat antara Irak dan Syam) diharapan beribu-ribu ummat Islam, maka tertipulah Abu Musa oleh kelicikan politik ‘Amru bin al-’Ash.
Karena menghormati ketinggian umur dan derajatnya, ‘Amru bin al-’Ash meminta kepada Abu Musa untuk terlebih dahulu berdiri diatas mimbar, menerangkan dasar perundingan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan ikhlas dan jujur hati Abu Musa naik ke atas mimbar, lalu berpidato menerangkan bahwa untuk kemaslahatan ummat Islam di dan ‘Amru bin al-’Ash telah sepakat untuk memberhentikan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan Khalifah. Tentang pengangkatan Khalifah yang baru diserahkan sepenuhnya kepada permusyawaratan ummat Islam. Saya sebagai wakil dari pihak Ali dengan ikhlas dan jujur hati menurunkan Ali dari kursi Khalifahnya”.
Kemudian naik pula ‘Amru bin al-’Ash lalu berkata menerangkan, bahwa ia menerima dan menguatkan keberhentian Ali itu, dan menetapkan Mu’awiyah dalam pangkatnya sebagai Amirul Mu’minin.

Pembunuhan atas diri Ali
Hasil perdamaian di Daumatul Jandal sangat mengecewakan hati ummat Islam yang berpihak kepada Ali yang kemudian dikenal dengan Syiah. Oleh kerena itu Khalifah Ali bermaksud hendak menyerang negeri Syam tempat kedudukan Mu’awiyah. Akan tetapi sebagian besar penduduk Irak tidak mengacuhkan dia lagi, sehingga amat sukar baginya mengumpulkan balatentara dan akhirnya maksudnya itu terpaksa dibatalkan, kelompok ini kemudian yang dikenal dengan murjiah[6]. Dalam pada itu tiga orang dari kelompok Khawarij telah mengadakan permufakatan jahat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah dan ‘Amru bin al-’Ash. Menurut mereka orang yang bertiga inilah yang menjadi pangkal fitnah yang menimbulkan peperangan sesama ummat Islam.
Tiga orang Khawarij itu ialah: Ibnu Muljam yang akan membunuh Ali, Albarak yang akan membunuh Mu’awiyah dan Umar bin Bakir yang akan membunuh ‘Amru bin al-’Ash. Ibnu Muljam berhasil usahanya, tetapi maksud kedua temannya itu tidak berhasil, karena Mu’awiyah dan ‘Amru bin al-’Ash sangat berhati-hati menjaga dirinya.
Maka pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. (661 M), Ali bin Abi Talib wafat ditikam oleh Ibnu Muljam dengan pedang beracun, dalam masjid Kufah dikala yang mulia itu hendak sembahyang Subuh. Ali wafat sesudah memerintah empat tahun sembilan bulan lamanya, masa yang tidak sunyi dari peprangan. Sepeninggal Ali bin Abi Talib, maka ummat Islam membai’at puteranya Hasan bin Ali sebagai Khalifah.

  
B.        Aliran-Aliran Teologi (Kalam)

I.          Khawarij
Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih menjadi gerakan teologis, sehingga Khawarij menjadi aliran dalam teologi Islam yang pertama, kaum khawarij dikenal sebagai sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap imam yang sah yang diakui oleh rakyat (ummat). Oleh karena itu, istilah Khawarij bisa dikenakan kepada semua orang yang menentang para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Golongan utama yang terdapat dalam aliran Khawarij yakni: Sekte Al-Azariqoh dan Sekte Al-Ibadiah.

a)        Pokok-pokok Pikiran Khawarij

Khawarij dinilai sebagai kelompok yang paling keras dalam aturan keanekaragaman, mereka  yang menentang pandangan ortodoks bahwa kepercayaan (iman), yang paling penting. Keyakinan dogmatis golongan Khawarij sangat besar mempengaruhi dialektika agama dalam teologi Islam, terutama dalam memahami alam dan Qadar Allah. Meskipun pendapat  bahwa ia adalah satu-satunya kelompok yang kuat dalam memegang semua ajaran dan Hukum Islam[7]
Allah berfirman yang Artinya:
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari golongan itu berbuat aniaya terhadap yang lainnya maka perangilah golongan yang membuat aniaya itu hingga ia kembali ke jalan Allah, maka damaikanlah antara  keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (49 Al-Hujurat:. 9)

Dengan mengacu pada ayat di atas mereka mengambil kesimpulan bahwa Muawiyah harus diserang dan ditundukkan sampai ia atuh dan mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, selain itu mereka yang menyalahkan Muawiyah karena ia telah berperang dan menyerang kekhalifahan yang sah dan ia telah berdosa besar dan dianggap kafir.
 Selain Muawiyah yang telah berdosa kemudian Ali juga berdosa besar dan bersalah dan dianggap kafir karena mereka tidak menerapkan ayat di atas dan bahkan lebih buruk lagi karena Ali menerima tahkim. Sementara itu, Abu Musa al-Asyari dan Amr bin Ash sebagai pendukung Ali, Muawiyah juga telah berdosa besar dan dianggap kafir karena setuju atas pelaksanaan tahkim. HUkum kafir ini semakin meluas termasuk orang yang melakukan dosa besar seperti pencuri, dan penzina,  pembunuh itu semua kafir, didasarkan pada ayat Al-Quran: Nisa: 31.
 Artinya: Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar dan di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami akan menghapus kesalahan (dosa-dosa yang  kecil) dan kami menempatkan kamu ke tempat kemuliaan (surga).

 Dalam hal Khalifah mereka lebih demokratis, pendapat mereka sebagai berikut:
a)      Khalifah tidak selalu kerabat nabi
b)      Khalifah tidak harus orang Arab
c)      Khalifah harus dipilih secara bebas oleh rakyat
d)      Khalifah terpilih harus mentaati perintah Allah
e)      Khalifah yang memerintah harus dipatuhi
f)       Khalifah yang menyimpang dari kebenaran harus dikenakan hukuman bahkan dibunuh
g)      Pegangan khalifah hukumnya Jaiz, namun jika situasinya sangat sulit untuk menerapkan Islam, maka mengangkat khalifah menjadi wajib[8].

b)       Sekte-Sekte Aliran Khawarij

1.    Sekte Al-Zariqiyah/Azariqah
Sekte Al-Zariqiyah/Azariqah merupakan kelompok yang kuat dan dapat menguasai Ahwaz dan sekitarnya. Perlu juga diketahui bahwa mereka masih belum melupakan peristiwa pahit ketika diperangi oleh pihak Ali karena ketidakjujuran Muawiyah dan rekan-rekannya, sehingga wajar jika ajaran teologi mereka sangat keras.

Pokok-pokok  ajarannya sebagai berikut:
a)      Semua penduduk yang tidak membantu gerakan mereka adalah musrik. Alasannya  karena mereka mengajak masyarakat pada seruan Rasul, jadi jika menolak adalah syirik,
b)       Wilayah yang tidak menyetujui pemahaman mereka dinilai Daru-syirkah. Haram hukumnya menjalin kasih, pernikahan, dan bermukimdi tengah-tengah mereka, haram hukunya waris-mewarisi , haram memakan sebelihan mereka, tidak boleh menerima kesaksian  mereka, dibolehkan membunuh mereka termasuk anak-anak dan perempuan,
c)      Penzina mukhson tidak dirajam tapi cukup dera, karena hanya penjelasan nash hanya memerintahkan cambuk (wa milal alil Nihal 121),
d)      Tidak boleh taqiyah (menyembunyikan pendirian),
e)      Dosa besar dan kecil bisa dapat saja terjadi pada nabi[9].

 Untuk menjadi pengikut teologi Khawarij sekte Azraqiyah harus melalui ujian.  
Calon diberikan tawanan, jika tawanan ia bunuh berarti ia lulus. Tapi jika Ia tidak  membunuh tawanan tersebut, dialah yang dibunuh. Kadang  tawanan itu dari sukunya, maka putuslah hubungan dengan sukunya dan terbangunlah hubungan yang baik dengan sekte Azraqiyah[10].

2.    Sekte An-Najdah

Pokok-pokok ajaran ajarannya adalah:
a)        Haram membunuh anak-anak dan perempuan yang tidak setuju dengan kelompok Azraqiyah.  Namun, untuk anak-anak Muslim dewasa yang tidak setuju masih dinilai kafir (sama pendapat dengan Azraqiyah),
b)        Muslim tidak pergi pada ziarah atau perang dengan mereka tidaklah musrik,
c)         Non-Muslim (ahluzinnah) yang tinggal di luar wilayah Najdah, halal dibunuh,
d)        Taqiyah untuk menyelamatkan diri tidak dilarang,
e)        Dosa-dosa kecil dilakukan terus-menerus akan menjadi dosa besar dan para pelakunya akan  musyrik. Tuhan mungkin menghukum, tetapi jika Tuhan menghukumnya tidak akan memasukannya dalam neraka , jika muslim tersebut melaksanakan hal-hal yang mendasar (Teologi dan Filsafat Islam Pemikiran) (W. Mothomery WTT, 1987, hlm.22)

3.    Sekte Al-Ajaridah

Menurut kelompok Ajaridah mereka tidak mengakui surat Yusuf adalah di Al-
 qur'an, karena menurut mereka, tidak layak ada kisah cinta dalam Al Qur'an[11]
 
 Pokok-pokok ajarannya adalah:
a)      Kaum muslim yang tidak bergabung dengan perang sekte Aj-Jaridah bukan Muslim.
b)      Muslim yang tidak ikut berhijrah ke Darul Islam tidak musyrik, karena karena berhijrah itu tidak wajib wajib, tetapi keutamaan saja[12],
c)      Harta yang dapat dijadikan harta rampasan adalah milik orang yang mati terbunuh dalam peperangan[13],
d)       Anak-anak yang musyrik tidak mengikuti orang musyrik[14].
 
  4.        Sekte Ash-Shuryyah

Pokok-pokok ajaranya adalah:
a)        Orang Islam yang tdak ikut berhijrah tidaklah kafir,
b)        Daerah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka bukanlah Zona Perang (Dar  Alharb). Perang Daerah adalah kap pasukan pemerintah[15],
c)         Tidak semua orang yang berbuat dosa dianggap musyrik. Mereka membagi dosa dalam ke dua kelompok. Pertama dosa dunia seperti sanksi hanya membunuh, berzinah dan mencuri, tidak dianggap kafir. Kedua dosa di akhirat, seperti sanksi meninggalkan Shalat dan puasa. Pelaku dianggap kafir[16],
d)         Kufur dibagi menjadi 2: pertama inkar ni’mat, kedua kufur bi Rububiyah. Jadi istilah kafir tidak selalu berarti keluar dari Islam,
e)        Boleh bertakiyah dalam kata-kata tetapi tidak dibenarkan dalam perbuatan,
f)          Demi keamanan diri, perempuan Muslim dapat menikah dengan laki-laki di daerah bukan Islam. (Yang disebut kafir adalah muslim yang tidak sepaham dengan mereka).

Melihat pendapat-pendapat mereka, sekte ini lebih moderat dibandingkan dengan sekte-sekte lainnya.

 5.        Sekte Ibadiyah

pokok-pokok ajarannya adalah:
a)      Muslim di luar kelompok atau yang tidak setuju dengan mereka yang tidak beriman Kufur atau musrik tapi lezat. Syahadatnya diterima, sehingga haram dibunuh dan dapat melakukan hubungan perkawinan[17],
b)      Orang yang melakukan dosa besar adalah Muwhid (mengesakan Allah tapi tidak mukmin). Bahkan jika hanya kufur Nikmat bukanlah kufur Nillah. Jadi jangan dinilai keluar dari Islam.
c)       Yang boleh dirampas dalam perang adalah sarana perang seperti kuda dan senjata, sedangkan harta mereka seperti emas dan perak tidak boleh diambil, dan harus kembali. (Sejarah Dan Pengantar Kalam)


II.          Persoalan politik ini akhirnya berubah menjadi persoalan theologi karena persoalan kafir Syiah

Syiah sebagaimana yang telah kami sebutkan pada latar belakang, yang merupakan kelompok masyarakat yang menjadipendukung ali bin ali thalib, dan beranggapan bahsanya ia adalah seorang imam dan khalifah yang ditetapkan dalam wahyu dan wasiat Dario rasul, baik secara terang-terangang maupun secara implicit dan imamah tidak boleh keluar dari keturunan ali. Jika yang terjadi sebaliknya, hal tersebut adalah kezalman, dan keberadaan ali dan keturunannya dalam posisi bertaqiyah.
Dalam pandangan kaum syiah, imamah merupakan akidah yang menjadi tiang agama. Mereka sepakat bahwa Imam itu wajib ditunjuk dan orangnya sudah dinashkan. Ada perbedaandalam tiap kelompok yang terdapat dalam dalam aliran syiah ini; zayyidah umpamanya, mereka berpendapat bahwasanya imam boleh saja dari luar keturunan Ali.

a)      Pokok-pokok Ajaran dalam Aliran Syiah

Dalam ajaran syiah juga dikenal Rukun Islam, namun penulis berusaha menghindar dari proses untuk membedakan satu aliran dengan aliran lainnya, karena pada dasarnya kebenaran hanya ada pada ketentuan Allah SWT, berikut adalah Rukun Islam dalam perspektif Syiah[18]:


 1.        As-Sholah
Shalat merupakan kewajiban setiap penganut syiah, namun proses pelaksanaannyalah yang membedakan dengan shalat yang kita lakukan. Misalnya:
a.      Keluar Madhi dan Wady tidak membatalkan wudhu
b.      Wajib mengucapkan Hayya Ala Khairil Amal dalam adzan
c.       Wajib hukumnya shalat gerhana matahari maupun bulan, siapa yang ketinggalan harus mengqadha’
d.      Begitu juga dengan proses ritual shalat yang gerakannya berbeda dengan shalat yang kita lakukan

2.         As-Shoum
a.      Barangsiapa berpuasa ramadhan dalam keadaan musafir maka harus membayar puasanya
b.      Orang sakit yang memaksakan diri berpuasa di bulan Ramadhan

3.        Az-Zakah
4.        Al-Haj
5.        Al wilayah
Wilayah dikenal dengan wilayatul Faqih, dimana kepemimpinannya disebut dengan Imam, ketundukan pengikutnya menjadi wajib karena dipercaya seorang imam mustahil dari sifat yang salah.

Dalam keimanan syiah juga memiliki rukun Iman[19], yang diantaranya adalah sebagai berikut:
a)      At-Tauhid
b)      An Nubuwwah
c)      Al Imamah
d)      Al Adlu
e)      Al Ma’ad

Pada dasarnya prinsip rukun iman diatas tidak berbeda jauh dengan kita kebanyakan, namun dalam penafsirannya aliran syiah memiliki penafsiran tersendiri dalam memahami prinsip-prinsipnya dan jauh berbeda dengan prinsip yang kita pahami.
Dalam beberapa hal, seperti yang penulis utarakan berikut ini menjadi dasar pemikiran yang membedakan antara kita dan penganut syiah:

1.      Al Quran

Para ulama syiah menganggap bahwa al Quran sudah dirubah, dengan beberapa poin yang memiliki kaitan dengan hal ini
-          Dengan asumsi bahwa sebagian ulama syiah ada yang tidak sependapat dengan keyakinan bahwa al Quran sudah diubah, dalam Kitab A-Kulani, kitab Al-Kafi 'Mahdi' mengatakannya, "al Kafi sudah cukup bagi Syiah." (dalam Raoudhotul Jannat Khunsariy juz 6 hal)
-          Penghormatan kaum syiah terhadap ulama mereka yang berpendapat bahwa al Quran sudah tidak asli. Seperti An Nur Thobrisi, Salim ibn Qois al Hilali, Muhammad al Faidh al Kasyani, Muhammad Baqir al Majlisi, Yusuf Bahrani, Nikmatullah al Jazairiy. Berkata Abul Hasan al ‘Amili: "Menurut kami pendapat yang mengatakan bawa al Quran sudah dirubah, sudah tidak asli adalah pendapat yang benar, apalagi setelah penelitian di berbagai atsar dan periwayatan. Yang mana sangat mungkin dikatakan itu sebagai dhoruriyat madzhab syiah, dan juga merupakan salah satu sarana guna merebut kekholifahan." (dalam muqoddimah kedua, bagian keempat Miratul Anwar wa Misykatul Asrar)
-          Masih banyak kalangan ulama syiah modern yang berkeyakainan bahwa al Quran sudah tidak asli lagi, sebagai contoh: Syeikh Dr. Adnan Wail, Syeikh Husein Fuhaid, mereka memiliki kaset dan video yang menunjukkan bahwa pendapat ini masih diyakini dikalangan syiah.
-          Kaum syiah tidak memperhatikan tilawah dan ta’allumul quran meskipun sampai pada jenjang perguruan tinggi dan pada lembaga-lembaga intelektual keagamaan.

2.        Pendapat Kalangan Syiah Tentang Sahabat
Allah dan Rasul sudah menjelaskan posisi para sahabat yang merupakan pembawa panji-panji Islam dan merupakan penopang agama ini. Akan tetapi kalangan syiah mengatakan: "Sesungguhnya seluruh sahabat telah keluar dari agamanya “murtad” sepeninggal Nabi saw, kecuali hanya empat orang saja." Pendapat ini bisa dilihat dalam: Kitab Salim ibn Qois al ‘Amiri, hal. 92 cetakan Darul Funun, Raodhothul Kafi juz. 8 hal 245, Hayatul Qulub, oleh Al Majlisi juz 2 hal 640[20]
Berkata Syeikh Abdul Wahid al Anashori – dia adalah tokoh pendekatan antara sunni dan syiah -: "Kaum syiah mengkategorikan sebagai pelecehan terhadap Islam apabila seseorang mengambil tafsir melalui Abu Hurairah, Samurah ibn Jundub atau Anas ibn Malik dan yang sekelas dengan mereka. Mereka menyakini bahwa mereka telah memalsukan agama dan telah berdusta." (dalam Adhwau ala Khuthuth, oleh Muhibbudin al Khothib, hal 65)[21]

3.        Kaum Syiah Berlebihan Terhadap Imam-Imam Mereka
Dalam berkeyakinan khususnya dalam bersyahadat dengan lafad “ Asyhadualla ialhaillallah wa asyhaduanna muhammadurrasulullah dan dilanjutkan dengan meyakini imam mereka yang duabelas, diantaranya:
1.      Ali bin Abi Tholib
2.      Alhasan bin Ali
3.      Alhusain bin Ali, dan 9 (sembilan) Dari keturunan Alhusain bin Ali Saja boleh tidak selainnya sekalipun turunan Alhasan bin Ali, mereka adalah:
4.      Zainal Abidin Ali bin Alhusain
5.      Albagir Muhammad bin Ali Bin Alhusain
6.      Ja'far bin Muhammad Assodiq
7.      Alkadhim Musa bin Ja'far Bin Muhammad
8.      Ali Arridha bin Musa bin Ja'far
9.      Aljawad Muhammad bin Ali bin Musa
10.  Ali Alhadi bin Ali bin Muhammad
11.  Hasan Ali bin Alaskari
12.  Almahdi Muhammad bin Hasan Yang mereka anggap Imam mereka ke Belas, Yang sedang gaib di sebuah gua di Samira Irak.

Keberadaan imam yang mereka yakini sebagai perintah wahyu ini adalah maksum, tidak memiliki kesalahan dan kecatatan dalam hidupnya.

b)     Kitab Aliran Syiah

1.      Al-Kafi,
Karya Abuja'far Muhammad bin Ya'kub bin Ishaq Alkulaini, berasal dari Kulain, Iran, berisikan 16199 Hadits (Hadits pengertian modem dikalangan Syiah) Kitab Alkafi tersebut kitab Syiah yang termulya (Tashihul-I'tiqad hal 27)[22]
2.      Man La Yahdhuruhul Faqih
Karya Abi Ja'far Assaduq, Muhammad bin Ali bin Alhusain Musa bin Babawaih Alqummi, Kitab ini dijadikan sumber rujukan kedua yang mereka Sebut sahih Oleh Faqih dikarang tokoh mereka terdiri Dari 6593 Hadits;
3.      At-Tahdzib,
Karya tokoh ulama Syiah Abi Ja'far Muhammad bin Alhasan Ali Atthusi, mencakup 13590 hadits. Kitab ini merupakan bekal bagi seorang Faqih dalam mendalami hokum-hukum Islam
4.      Al-Istibshar,
Karya tokoh ulama Syiah Oleh Abi Ja'far Atthusi terdiri Dari 6531 hadits, Yang sebenamya buku keringkasan Dari Attahzib.

Dari empat buku yang kami sebut diatas merupakan kitab pedoman dan rujukan kitab-kitab lainya yang tersebar di kalanganpenganut syiah

c)      Sekte-sekte dalam kelompok Syiah[23]

 Aliran syiah terdiri dari 5 kelompok besar, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.       
1.    Al Kainisiyah
      Kelompok ini terbagi lagi dalam 4 sekte/aliran, diantaranya:
1)      Al-Muktariyah
2)      Al-Hasyimiah
3)      Al-Bayaniyah
4)      Al-Razianiyah

2.      Az-Zaidiyyah
Az-Zaidiyyah terbagi dalam 4 sekte, diantaranya:
1)      Al-Jarudiyyah
2)      Sulaimaniyyah
3)      Ash-Shalihiyyah
4)      Al-Batriayyah

3.      Al-Imamiyyah
Al-Imamiyyah terbagi lagi dalam 7 sekte, diantaranya:
1)      Al-Baqiriyah Al-Ja’fariyyah Al-Waqifiyyah
2)      An-Nawusiyyah
3)      Al-Afthathiyyah
4)      Al-Sumaithiyyah
5)      Al-Isma’iliyyah Al-Waqifiyyah
6)      Al-Musawiyyah & Al-Mufadhaiyah
7)      Al-Itsna Asyriyyah

4.      Al-Ghaliyyah

5.      Al-Isma’iliyyah


III.        Asy’ariyah

a)        Latar Belakang Asy'ariyah

Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abû al-Hasan 'Alî al-Asy`arî. Beliau lahir di Bashrah, Iraq tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 873 Masehi. Beliau wafat pada tahun 324 H / 935 M. Beliau hadir sekitar satu abad setelah imam al-Syâfi'î, atau setengah abad setelah al-Bukhari. [24]
Awalnya al-Asy`arî pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, al-Asy`arî menjadi penganut Mu`tazilî, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan beliau pun keluar dari paham itu dan bergabung dengan paham kaum Hadits (Ahl al-Hadits/Ahl as-sunnah) yang dipelopori oleh kaum Hanbalî dan yang bertindak sebagai pemegang bendera ortodoksi atau sunni.
Namun, tidak menutup kemungkinan jika al-Asy`arî masih memegang metode logis dan dialektis yang sekarang akan berbalik untuk membela paham Ahl al-Hadits. Pada umumnya, kaum Hadits masih mencurigakan metodologi yang digunakan oleh al-Asy`arî sehingga dalam diri al-Asy`arî merasa bahwa ia perlu membela diri dengan risalahnya yaitu Istihsân al-Khawdl fi 'ilm al-Kalâm (Anjuran untuk mendalami ilmu Kalâm).
Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Dengan itu belaiu berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu`tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahl al-Hadits. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy`ariyah, Mu`tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.
Kemampuan Asy`ariyah dalam memukul Mu`tazilah bisa dimaklumi karena sebelumnya Al-Asy`ari pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul lika-liku logika Mu`tazilah dan dengan mudah menguasai titik-titik lemahnya. Meski awalnya kalangan Ahl al-Hadits sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun setelah keberhasilannya memukul Mu`tazilah dan komitmennya kepada aqidah Ahl al-Hadits atau yang sekarang ini terkenal dengan sebutan ahlus sunnah wal jama'ah[25].

b)       Inti Pokok Paham Asy'ariyah
Pada dasarnya, inti pokok paham Asy'ariyah adalah Sunnisme. Dalam hal ini, al-Asy`arî menuturkan bahwa ia mendukung dan menganut paham Ahl al-Hadits. Maka ada beberapa hal yang dianut oleh para pendukung Hadits dan Sunnah yaitu mengakui adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, segala apa yang datang dari Allah dan apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, percaya terhadap Qadha dan Qadar Allah, dan mempercayai adanya Dajjal. Selain itu, juga mengharuskan untuk taat kepada imam atau pemimpin dan tidak memerdulikan pemimpin itu orang baik atau orang jahat.
Adapun pandangan-pandangan Asy'ariyah yang agaknya berbeda dengan Mu'tazilah[26], di antaranya ialah:
1.      Tentang Tuhan, bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Allah berada di atas 'Arsy (Singgasana) dan Allah satu-satunya yang menciptakan segala sesuatu di bumi serta pemilik ilmu (pengetahuan). Allah dapat dilihat nantinya di akhirat, memiliki sifat-sifat seperti berkuasa, melihat, mendengar dan lai-lain.
2.      Tentang al-Qur'an, yang merupakan Kalami Ilahi yang bukan makhluk dan bersifat Qadim.
3.      Tentang Manusia, kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh manusia itu merupakan kehendak dari-Nya maka semua perilaku mereka diciptakan oleh-Nya.
4.      Tentang pelaku dosa besar, bahwa seorang mukmin yang berdosa besar tidak pasti dihukumi masuk neraka dan tidak dikatakan kafir atau keluar dari keislamannya, karena Allah Maha Menerima Taubat dan Maha pengampun. Oleh karena itu, Asy'ariyah menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebab tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
5.      Tentang anthropomorphisme, bahwa Allah mempunyai mata, tangan, mata dan sebagainya yang tidak dapat dikatakan bagaimana.
Selain yang tertera di atas, paham Asy'ariyah ini menentang paham keadilan Tuhan yang di bawa oleh kaum Mu'tazilah. Menurutnya, keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Dengan demikian ia tidak setuju dengan konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

C. Alur Argumen Kalam Asy'ariyah
Selain al-Asy'ari menganut aqidah Ahl Sunnah, ia juga mengembangkan alur argumen logis dan dialektisnya yang pernah ia dapatkan selama menjadi bagian dari Mu'tazilah. Pengembangannya ini dilakukan al-Asy'ari yang kemudian berlanjut pada pengikutnya yaitu al-Ghazali yang menjadi tumpuan kekuatan paham Asy'ariyah sebagai doktrin dalam aqidah islam kaum Sunni.
Dalam pembahasan ini, menjelaskan tentang teologi yang terpusat pada argumentasi Kalam Asy'ari yang berupaya untuk membuktikan adanya Sang Maha Pencipta yang menciptakan seluruh jagad raya dan dikatakan bahwa adanya jagad raya itu karena diciptakan dari ketiadaan. Argumen ini berkembang dan menjadi salah satu kontribusi alam pikiran islam yang paling orisional kepada pikiran umat manusia. Oleh karena itu, Ilmu Kalam memiliki karakteristik yang sangat khas dalam islam, yang menjadikan agama islam berbeda dengan agama lain mana pun. Sehingga mempengaruhi semua agama di dunia karena perkembangan Ilmu Kalam.
Meskipun paham Asy'ariyah memiliki kekuatan sampai ia menyebar di seluruh dunia yang kenyataannya banyak dianut oleh sebagian orang hingga sekarang, akan tetapi ia juga tidak lepas dari kelemahan-kelemahan. Yang menunjukkan kelemahan-kelemahannya itu ia mendapat beberapa kritikan dalam pandangannya mengenai perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Padahal setiap yang dilakukan oleh manusia itu juga merupakan suatu usahanya. Dengan kata lain, Allah menghendaki kepada manusia atas usaha yang ia lakukan.
Selanjutnya, kritikan yang dilontarkan oleh Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), yang tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu'tazilah. Kemudian pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apapun, seperti dikatakan Asy’ari.[27]
Mungkin selain yang tertera di atas, menurut kami mengenai paham Asy'ariyah yang mengharuskan untuk taat kepada seorang pemimpin yang tidak perduli apakah ia seorang yang baik atau jahat. Setidaknya mereka tidak bersikap seperti itu, apabila seorang pemimpin orang yang jahat maka sebaiknya tidaklah harus ditaati melainkan bersikap tegas karena hal ini akan merugikan banyak orang.

III.      Mu’tazilah

Muktazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil 'aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Atha' pada tahun 100 H/718 M.
Dr. Ibrahim Madkour menyebut orang-orang Muktazilah sebagai pendiri lilmu kalam yang sebenarnya. Karena hampir setiap pemikiran penting dalam ilmu kalam ditemukan landasannya di kalangan mereka. Muktazilah telah membahas sebagian problematika ilmu kalam pada tahun-tahun pertama abad ke-2 H. mereka serius menggelutinya selama satu setengah abad. Muktazilah merupakan aliran rasional yang membahas secara filosofis problem-problem teologis yang tadinya belum ada pemecahan. Dengan nama studi tentang akidah, Muktazilah sebenarnya juga membahas masalah moral, politik, fisika dan metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran yang berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam dan manusia.[28]
Secara garis besar, aliran Muktazilah melewati dua fase yang berbeda, yakni fase bani Abbasiyah dan fase bani Buwaihi. Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan bani Umayyah, namun untuk waktu yang tidak terlalu lama. Meski demikian, generasi awal inilah yang menancapkan tonggak awal Muktazilah sehingga bisa eksis di masa-masa berikutnya, bahkan sampai saat ini.
Demikian hebat dan luasnya jangkauan konsep teologis Muktazilah. Namun, dalam tulisan kali ini penulis akan memfokuskan kajian pada masalah sejarah kemunculan Muktazilah, Tokoh-tokoh serta doktrin teologisnya. Berikut penulis sajikan pembahasan tentang ketiga hal tersebut.

Latar Belakang Kemunculan

Munculnya aliran Muktazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir[29].
Demikianlah pendapat Wasil bin Atha' yang kemudian menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Setelah mengeluarkan pendapatnya ini, Wasil bin Atha' pun akhirnya meninggalkan perguruan Hasan al Basri dan lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal aliran Muktazilah. Setelah Wasil bin Atha' memisahkan diri, sang guru yakni Hasan al Basri berkata: ''I'tazala 'anna Wasil (Wasil telah menjauh dari diri kita). Menurut Syahristani, dari kata i'tazala 'anna itulah lahirnya istilah Muktazilah. Ada lagi yang berpendapat, Muktazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu berarti memisahkan diri secara fisik. Muktazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya, karena memang pendapat Muktazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya. Selain nama Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl al-Tauhid (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-Adl (pendukung faham keadilan Tuhan), dan kelompok Qodariyah. Pihak lawan mereka menjuluki kelompok ini sebagai golongan free will dan free act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat[30].
Ketika pertama kali muncul, aliran Muktazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Muktazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan Muktazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan il-mu pengetahuan. Dan, pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah deng-an peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, ja-di tidak qadim. Jika Alquran dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Al-lah, dan ini hukumnya syirik.


Pokok Pikiran Aliran Muktazilah

1.      Tauhid
 Allah Swt. adalah Zat Yang Mahaesa, Qadîm (Mahadulu), sementara selain Dia adalah baru (muhdats). Dari sini maka zat dan sifat Allah harus sama-sama Qadîm, yakni hanya satu; tidak terpisah satu sama lain. Sebab, kalau tidak, pasti akan ada dua yang Qadîm, yaitu zat dan sifat. Padahal, yang Qadîm harus satu, dan itulah Allah.
2.      Keadilan
seluruh perbuatan Allah adalah baik dan adil. Allah tidak akan melakukan perbuatan buruk dan zalim. Karena itulah, mereka menafikan qadar. Mereka menyatakan bahwa manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya (hurriyah al-iradah) dan dia akan bertanggung jawab di hadapan Allah kelak.
3.      Janji dan ancaman
Allah Maha Menepati janji dan ancaman-Nya. Janji berkaitan dengan kebaikan, seperti pahala dan surga, sedangkan ancaman berkaitan dengan keburukan, seperti dosa dan neraka.
4.      Manzilah bayn manzilatayn (status di antara dua kedudukan)
Orang yang melakukan dosa besar tidak boleh disebut Mukmin atau kafir, tetapi fasik. Karena itu, status fasik merupakan kedudukan ketiga, di luar konteks iman dan kufur.
5.      Amar makruf nahi mungkar
Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban; masing-masing sesuai dengan kadar kemampuannya; bisa dengan senjata dan non-fisik. Jika dengan senjata maka di situlah hukum jihad berlaku.

Inilah beberapa pandangan yang mereka sepakati. Selain itu, pandangan mereka berbeda-beda. Mengenai para tokohnya, antara lain, adalah Ghaylan ad-Dimasyqi dan Washil bin Atha’. Ghaylan terkenal dengan pandangannya tentang al-qadr, sedangkan Washil terkenal dengan pandangannya tentang al-manzilah bayn al-manzilatayn. Abu Hudhail al-‘Allaf dengan muridnya dan Basyar bin al-Mu‘tamir terkenal dengan konsepnya mengenai tawallud. Tokoh lain adalah Abu Ali al-Jubba’i dan al-Khayyath penulis buku al-Intishâr. Tokoh Muktazilah yang terakhir adalah ‘Abd al-Jabbar, murid Abu Hasyim al-Jubba’i, anak Ali al-Jubba’i[31].
Selain beberapa pandangan di atas, hal lain yang paling menonjol adalah penggunaan akal sehingga muncul kesan seolah-olah Muktazilah adalah kelompok yang mendewakan akal. Padahal, dalam kasus ini, bisa dikatakan semua ahli kalam menggunakan akal. Bahkan, dalam kasus ini tidak bisa dipilah lagi, mana Muktazilah, Jabariah dan Ahlus Sunnah. Inilah secara umum tentang potret Muktazilah sebagai mazhab akidah.

Sekte-sekte Aliran Muktazilah

Adapun Sekte-sekte yang terdapat dalam aliran Muktazilah, dapat dipilahkan menjadi 22 sekte/golongan, diantaranya:
1)      Washiliyah;
2)      Amrawiyah;
3)      Hudhayliyah;
4)      Nazzamiyyah;
5)      Aswariyah;
6)      Ma‘mariyah;
7)      Iskafiyah;
8)      Ja‘fariyah;
9)      Bisyriyyah;
10)  Murdariyyah;
11)  Hisyamiyyah;

12)  Thumamiyah;
13)  Jahiziyah;
14)  Khabitiyah;
15)  Himariyah;
16)  Khayatiyah;
17)  Murisiyah;
18)  Syahammiyah;
19)  Ka‘biyah;
20)  Jubba’iyah;
21)  Basyamiyah;
22)  Shalihiyah.



BAB III
ANALISA

Perkembangan aliran kalam yang telah penulis sampaikan pada bab sebelumnya menggambarkan visionernya rasulullah dalam memandang realitas masa depan ummatnya, Asy-syahrastani menggambarkan 73 golongan yang dimaksudkan rasulullah itu dalam bukunya “Al-Milal wa Al-Nihal; Aliran-Aliran Teologi Dalam Sejarah Ummat Manusia” sedangkan perkembangan setelahnya merupakan penalaran atau sinkronisasi dari 73 golongan yang telah ia gambarkan dalam bukunya.
Tidaklah banyak jika kita merunut dari 4 aliran yang telah penulis sampaikan diatas, tapi inilah sumber perkembangan realitas kemudian yang tidak keluar dari nilai dan norma yang telah dicetuskan tokoh-tokohnya, baik secara aqidah, politik, syariah (fiqh), muamalah—walaupun dalam perkembangan aliran ada beberapa aliran pokok lainnya yang menjadi dasar pemikiran kelahiran aliran-aliran dimasa yang akan datang
Dalam bab ini penulis akan mengambarkan sedikit dari relevansi terhadap realitas perkembangan aliran pasca kekhalifahan Ali bin Abi Thalib terhadap perkembangan sosial politik saat ini, adapun relevansi perkembangannya lebih mengarah pada aspek Aqidah, Syariah, Politik, Muamalah

A.       Syiah
Diakui syiah merupakan aliran aqidah yang mengatur pola hidup ummatnya (Syi’i) secara lengkap—berbeda sudut pandang dalam melihat realitas khusunya dalam komitmen keimanan sehingga membentuk tatanan huidup yang berbeda dengan aliran kebanyakan.
Secara politik syiah meyakini ke-maksum-an imam-imam mereka, beriman secara politik membentuk kepercayaan atau keyakinan atas keputusan sang imam dan akan terus memperkecil peta konflik secara terus menerus, syiah meyakini pemimpin (presiden) tidak harus dari golongan Quraisy, jika itu ditetapkan oleh imam-imam mereka[32] kita dapat melihat pertarungan politik yang terjadi di Iran semuanya berada dibawah kendali Imam, karena imam selaku pemimpin agama juga bertugas mengawasi Negara dan perannya tidak dapat dipisahkan dari keduanya.
Peran yang dimainkan imam dalam aliran syiah, mungkin hampir sama bentuknya dengan ahlul hally wal ‘aqdy, Imam yang melakukan seleksi terhadap calon pemimpin (presiden) baik komitmen keagamaan, kenegaraan maupun sikap dan tindak tanduknya. Sesudah melewati proses rakyatlah yang akan memilih siapa pemimpinnya—secara politik legitimasi jauh lebih besar. Berbeda dengan DPR/MPR di Indonesia, legitimasi imam adalah absolute. Semua keputusan imam dapat membatalkan keputusan presiden kapanpun dan dimanapun.
Secara sosial pemeluk syiah (syi’i) memiliki aqidah Taqiah yang artinya penyembunyian identitas diri—aqidah ini secara politis juga akan menggerakan persatuan ummat dunia walaupun secara aqidah berbeda.

B.        Khawarij
Khawarij merupakan aliran memiliki komitmen aqidah yang kuat terhadap Islam, sebahagian besar sekte yang terdapat didalamnya meyakini Alquran dengan pemehaman yang jelas (hitam-putih) kalau bukan islam pastilah kafir, menurut mereka beriman adalah konsekuensi untuk taat ada ajaran Quran, sebagaimana mereka menyitir beberapa ayat Alquran; Berhijrah (An-nisa 100), berpegang teguh pada hukum Allah (Al-maidah 44) dan ayat-ayat lainya. Secara politik aliran ini telah melakukan pemurnian aqidah yang berlandaskan alquran.
Dalam pandangan politik khawarij sangatlah moderat khususnya dalam dalam memilih pemimpin sebagaimana syarat yang telah penulis sampaikan pada bab sebelumnya, ini mengambarkan kahawarij disatu sisi memandang kaku dalam meyakini aqidah, disisi lain dalam memilih pemimpin khawarij mengedepan nilai bukan primodialisme kedaerahan.
Pemahaman kepemimpinan yang pegang oleh khawarij kerap dipegang oleh organisasi/partai islam, ketika seorang calon layak untuk dijadikan seorang pemimpin dalam kajian nilai, maka tidak ada salahnya siapapun dan dari manapun ia berasal. Namun jika ia melanggar maka komitmen akan berlaku dalam melakukan eksekusi terhadap pemimpin tersebut

C.        Asy‘ariyah
Secara teologis Abu Hasan Asy’ary ingin menyederhanakan pemikiran manusia dalam melihat esensi keberadaan dan peran tuhan terhadap keberadaan manusia, namun proses penyederhanaan yang dibangun oleh Asy’ary bersifat politis dalam membantah argument Muktazilah dengan argument yang lebih netral—walau ini tidak menyelesaikan pemahaman secara detil. Sehingga memunculkan banyak anggapan pemahaman yang dibangun Asy’ary cendrung stagnan dalam memahami kehidupan, tapi dipihak lain ingin membersihkan peran akal yang dianggap terlalu berlebihan.
Relevansinya hari ini pemahaman Asy’ary di anut oleh kaum sunni di dunia dan sebagian besar masyarakat Indonesia, masyarakat kita ingin memposisikan diri pada dataran standar yang mereka anggap normal (tidak kekiri dan kekanan). Asy’ary hanya bermain pada tatanan teologis walaupun banyak mendapat pertentangan karena teologi ini tidak mampu memberikan konstribusi terhadap peradaban Islam dan menganggap pemikiran dan peradaban yang terbangun jauh dari nilai dan moral.
Kita tidak menutup mata peran Asy’ary dalam kajian epistemologi pada masanya memberikan konstribusi besar didunia pemikiran dan teologi. Walaupun dikemudian hari kerangka teologis yang dibangun menjadi landasan pemahaman figih dan sosial budaya, penulis melihat hal inilah yang seharusnya mendapat perhatian untuk dilakukan rekonstruksi ulang dalam melahirkan peradaban yang lebih bermartabat

D.       Muktazilah
Muktazilah merupakan kaum rasionalis dalam memandang segala hal, kemajuan ummat terletak pada pola fikir yang dibangun, walau pergerakan Muktazilah sempat mengalami pasang surut. Landasan yang cetuskan oleh aliran ini adalah modal dalam membangun pola fikir dan gerakan.
Kemajuan ummat Islam tidak bisa dilepaskan dari peran serta kaum Maktazilah, walaupun banyak aliran-aliran lain yang ikut berkontribusi dalam kemajuan umat ini. Idiologi Muktazilah sempat menguasai pemerintahan walaupun pernah dilakukan dengan cara kekerasan—membangun peradaban bukanlah membangun mitos tapi nilai yang dapat di-interpretasikan menjadi khazanah islam yang bermartabat yang tidak hanya untuk masa lalu tapi juga untuk masa-masa yang akan datang.
Pengaruh besar Muktazilah di era modern ini sangatlah terlihat, pengaruh tersebut di-interpretasikan dengan landasan pemikirannya lebih idiologis, terencana dan terukur apa yang ingin dicapai. Pemikiran muktazilah dapat dikembangkan bebas sesuai dengan lahan garapan; politik, sosial, budaya, apalagi saint, pengembanganya selain membangun peradaban juga menjaga eksistensi pemahaman keberadaan tuhan.




BAB IV
PENUTUP

Perkembangan pemikiran setelah masa rasul dan sahabat berkembang pesat, walaupun tidak dapat dihindari pemicu utamanya adalah politik. Realitas ini menggambarkan begitu besarnya peran politik yang dimainkan oleh para ulama dalam menegaskan pemikrannya—terlepas dari pemaksaan kehendak terhadap kebenaran yang diyakini.
Jika kita boleh bercermin pada masa lalu, realitas masa lalu terlihat lebih idealis dibanding dengan realitas saat ini ‘menggunakan agama dalam meraih kekuasaan’. Penulis membatasi idealisme yang dibangun dalam berpolitik pasca kekhalifahan Saidina Ali bin Abi Thalib hanya pada pokok bahasan Syiah dan Khawarij jika kita merujuk dimasa kelahirannya. Sedangkan Pokok bahasan Asy’ariyah dan Muktazilah merupakan perkembangan pemikiran, dan para pemimpin dimasanya cendrung melegitimasi agama dalam melakukan pembangunan sehingga kerap melakukan kekerasan dalam membangun pemahaman (menggunakan kekuatan agama dalam meraih kekuasaan)

Berangkat dari gambaran diatas kami mencoba untuk menyimpulkan beberapa hal:
1.      Gerakan pemikiran pasca rasul dan sahabat di picu oleh potik yang berakhir pada menguatnya pembentukan teologi
2.      Sejarah pemikiran umat manusia terus berulang, baik dalam penggunaan nash (naqly) maupun penggunaan akal (aqly)
3.      Pluralime pemikiran dalam Islam dapat memicu banyak aspek tengah ummat, disamping aspek politis yang terkadang cendrung negative, juga aspek spiritual dan social dalam penumbuhan kedewasaan.
4.      Perkembangan pemikiran teologis selalu menjadi landasan epistemology dalam menginterpretasikan hukum Islam, sosial, politik, budaya, bahkan saint

Demikianlah makalah singkat ini kami sampaikan, dengan harapan berguna adanya.





 DAFTAR PUSTAKA


Asy-syahrastani, “Al-Milal wa Al-Nihal; Aliran-Aliran Teologi Dalam Sejarah Ummat Manusia” PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2006



Ash Shiddieqy, Hasbi, Tauhid Sejarah Dan Pengantar Ilmu / Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, h.169. Bintang, Jakarta, 1992, h.169.

Nasution Harun, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1972

Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah Pembangunan Dalam Islam, P3 M, 1987

Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran - aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:  Penerbit Universitas Indonesia, 1986)











[1] Asy-syahrastani, “Al-Milal wa Al-Nihal; Aliran-Aliran Teologi Dalam Sejarah Ummat Manusia” PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2006, hal 4
[2] http://darunnajah-cipining.com/sejarah-dunia-islam-masa-khalifah-keempat-ali-bin-abi-thalib/
[3] http://abunajmi-asqalani.blogspot.com/2009/09/peristiwa-tahkim-inilah-kisah-yang.html
[4] Prof.TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Tauhid Sejarah Dan Pengantar Ilmu / Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, h.169. Bintang, Jakarta, 1992, h.169.
[5] Prof.TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Tauhid Sejarah Dan Pengantar Ilmu / Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, h.169. Bintang, Jakarta, 1992, h.169.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1972
[7]  Tim Penyusun Perpustakaan Azet Jakarta, Helesikon Islam, Pustazet Pustaka, 1999.
[8] Prof Dr.TM.Hasbi As-Shiddiqy, 1975 Sejarah Pengantar Ilmu Kalam,
[9] Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Pembangunan Dalam Islam, P3 M, 1987
[10] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran - aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
 
Penerbit Universitas Indonesia, 1986)
[11] Asy-syahrastani, “Al-Milal wa Al-Nihal…
[12] Asy-syahrastani, “Al-Milal wa Al-Nihal…
[13] Harun Nasution, “Teologi Islam…
[14] Harun Nasution, “Teologi Islam…
[15] Asy-syahrastani, “Al-Milal wa Al-Nihal…
[16] Harun Nasution, “Teologi Islam…
[17] Harun Nasution, “Teologi Islam…
[18] http://www.syiah.net/download.html
[19] http://hakekat.com/component/option,com_docman/task,doc_download/gid,19/Itemid,2/ mode,view/ “Agama Syiah dan Landasan Kepercayaannya
[20] Ibid,
[21] http://hakekat.com/component/option,com_docman/task,doc_download/gid,15/Itemid,2/
mode,view/ Upaya Pendekatan antara Sunni & Syiah, Oleh Alburhan Site
[22] ibid
[23] [23] Asy-syahrastani, “Al-Milal wa Al-Nihal…
[24] http://jsfas.blogspot.com/2009/12/pemikiran-asy-ariyah-dan-maturidiyah.html
[25] http://sahlasyair244.blogspot.com/2009/04/kekuatan-dan-kelemahan-paham-asyariyah.html
[26] http://ibnuramadan.wordpress.com/category/asyariyah/
[27] http://sahlasyair244.blogspot.com/2009/04/kekuatan-dan-kelemahan-paham-asyariyah.html
[28] http://members.tripod.com/ahkam_2/FIRQAH/muktazilah.html
[29] ibid
[30] http://www.scribd.com/doc/22306962/TEOLOGI-MUKTAZILAH
[31] http://www.koranpendidikan.com/artikel/3613/aliran-dalamteologi-islam.html “Muktazilah: Sejarah dan Doktrin Teologinya (1)” Oleh: Kurdi Muhammad
[32] Lihat profil Negara iran