Minggu, 19 Desember 2010

Recognition of the complexity of meaning


Memahami Teks dan Konteks Alquran
Noviandy Husni

Alquran memiliki kesempurnaan secara lafad dan makna, namun dimanakah letak sempurnaan yang sesungguhnya? Banyak Ahli tafsir dengan menggunakan teori dari berbagai sisi menjadikan Alquran lahan interpretasi yang selalu berkembang melalui teksnya maupun pesan nilai yang terdapat didalamnya khususnya nilai hukum. Seiring waktu dan perkembangan teori interpretasi juga terus mengalami pergerakan, namun yang menjadi dasar perkembangan masih tetap pada lingustik, sosio-historis, dan cultural hal ini terlihat dari beberapa legitimasi pemahaman—proses kritik dan perdebatan pemahaman juga terjadi pada hal-hal tersebut.

Dalam memahami teks Alquran secara ideal dan objektif ada dua asumsi kunci yang dapat digunakan; Pertama, alquran di turunkan dengan bahasa arab—nilai bahasanya yang memberikan nilai objektif  dalam menemukan kebenaran. Kedua, objektivitas teks alquran di dukung oleh pernyataaan nabi dan para sahabat. Sehingga terlihat objektivitas sebuah teks diasumsikan dapat dicapai melalui linguistic dan sejarah yang melatar belakanginya. Namun hal tersebut tidak cukup dalam memandang hukum ethic; menginterpretasikan teks haruslah lebih komplek dari bebagai pandangan, waktu, tempat dan keadaan.
Memahami teks membutuhkan sejarah, tapi tidak hanya pendekatannya sejarah layaknya sejarahwan—ada makna yang harus di gali dari proses sejarah dan linguistic tersebut. Sangat memungkinkan sehingga proses ini tidak sejalan dengan  pemahaman terhadap teks yang dominan pada saat wahyu saat itu. Walaupun hal ini terkesan tidak objektif, karena penafsir akan menempatkan diri pada pandangan tertentu—karena keberadaan sejarahwan juga subjektif dengan sudut pandangnya dan tujuan makna sejarah tidak bisa didialogkan ‘subjektivitas sejarawan’. Sedangkan pemahaman semua dibentuk oleh ide-ide yang sudah ada sebelumnya dan pengalaman.

Kami tidak sepakat ketika Alquran hanya dapat diinterpretasikan oleh kaum periode tertentu saja, yang menganggap yang paling paham secara linguistic (gramatical) dan sejarah (sejarawan) tanpa melihat pergeseran budaya dan peradaban—Alquran tidak untuk diturunkan pada satu waktu dengan ihwal yang tampak saja tapi ada banyak hal yang terselubung yang belum mampu diterjemahkan pada masa itu. Terkadang teks hanya dipahami pada tataran bahasa dan sejarahnya, padahal jika digali lebih dalam ada discourse tertentu yang tidak tergali secara bahasa dan sejarah saat itu—walaupun dalam prosesnya discourse tersebut juga ada pada masa itu dan hubungannya hanya dengan masa tersebut.

Memahami alquran sebagai teks yang suci adalah sebuah keharusan, Allah juga menjaganya dengan memilah antara ayat muhkam dan mustasyabih. Muhkam yang sifatnya jelas dan operatif, sedangkan mutasyabih merupakan ayat yang membutuhkan interpretasi yang mendalam, dalam ayat ini Allah menjaganya dengan keharusan umatnya untuk menuntut ilmu dan iman. Jika kita sepakat ayat tersebut hanyalah milik Allah, maka kekurangan Alquran dalam hal ini Allah akan terlihat dengan membatasi untuk memahaminya.

Karena dalam pandangan kami pengakuan terhadap berbagai pamahaman menjadi hal yang lebih penting dibandingkan dengan pemahaman itu sendiri. Ketika suatu hukum hanya dipahami secara tekstual maka discourse masyarakat muslim tidak akan berubah ditambah lagi dengan tidak mengakui berbagai pemahaman dan keilmuan, mengingat teks alquran memiliki semangat dan nilai yang konstektual dan tidak keluar dari tekstual ayat tersebut, tentunya dengan kemampuan dasar pemahaman (bahasa, tata bahasa, gaya bahasa, dan ilmu pendukung lainnya)—nilai dan semangat memiliki nilai yang absolute dalam kalam suci itu.

Dalam mengakui validitas dan otoritas penafsir, ada 2 hal yang menjadi tingkatan pandangan umat islam dalam mengkonsumsi product tersebut: Pertama; Dasar-dasar agama, ini adalah consensus tertinggi yang mencakup kepercayaan pada Allah, pada Muhammad sebagai nabi-Nya, dan di dalam Al Qur'an sebagai wahyu dari Allah, serta keyakinan dasar lainnya. Yang kedua; memahami ajaran Islam, seperti nilai-nilai kemanusiaan universal, akuntabilitas kepada Tuhan, hubungan Tuhan untuk penciptaan, kebutuhan dan pentingnya agama untuk pembangunan manusia, dan implikasi hukum dari Al Qur'an.

Memahami sosio-historis dalam melakukan interpretasi berbeda dengan pendekatan sejarah, sebagaimana yang telah kami sampaikan di atas, pendekatan ini juga tidak boleh melupakan dasar pengetahuan linguistic disamping sosiologi masyarakat yang pada saat itu—pendekatan ini akan memberikan banyak perubahan, kami menilai proses ini akan lebih Islami dan berkeadilan jika di kaitkan dengan konteks kekinian—nilai, norma dan semangatlah yang terus hidup dalam dalam teks yang sama yang kita pahami dimasa lalu dan saat ini. Umpamanya: Warisan, eksistensi perempuan, dan lain-lain.

Pertanyaannya; teks apa yang bisa berubah teks apa yang absolute? Jawabannya sejauh mana kita mampu memahami perubahan terhadap teks? dan sejauh mana pemahaman absolute kita yang kita gunakan dalam memahami teks? Diakui atau tidak setiap pemimpin muslim akan melewati masa dimana kemampuannya diasah dalam menjawab berbagai persoalan yang tidak terjawab dimasa rasul. Di satu sisi Alquran adalah Abadi secara lafadf dan maknanya, disisi lain perkembangan peradaban menuntut perubahan untuk dipahami secara kontekstual—ritual ibadah mungkin menjadi hal absolute dalam memahami teks—alquran tidak hanya mengatur ibadah saja, tapi juga nilai-nilai yang menjadi pegangan umat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar