Minggu, 10 April 2011

Solidaritas Sosial ‘Ashabiyah’ menurut Ibnu Khaldun



I.          Pendahuluan
Perkembangan konsep maupun teori yang dikembangkan seorang intelektual tentu tidak terlepas dari kondisi sosial maupun politik yang mengharuskan dirinya merespon, menganalisis, kemudian menghasilkan solusi untuk memberi solusi terhadap persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, solusi yang diberikan akan membumi dan banyak memberi manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Persoalan yang dihadapi langsung direspon dengan mengedepankan metode yang aktual dan relevan dengan konteks yang dihadapi. Selain itu, dalam konteks keilmuan, penyelesaian semacam ini bisa membantu perkembangan teori baru. Tentu saja, ini akan memberi manfaat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat luas.
Ibn Khaldun barangkali merupakan salah satu intelektual yang bisa dikatakan demikian. Berangkat dari kontak dan hubungan secara langsung terhadap berbagai kondisi dan perkembangan politik yang ditemui di berbagai tempat, serta analisisnya terhadap sejarah sebelumnya, ditambah lagi pengamatannya yang menggunakan pendekatan sosiologis, memberikan kontribusi baru bagi pengembangan keilmuan saat itu, dan membuka cakrawala baru bagi pengembangan keilmuan selanjutnya. Karenanya, tidak salah apabila banyak kalangan intelektual maupun akademisi menempatkannya sebagai ilmuan modern.
Teori ashabiyah merupakan salah satu bukti kejelian dan kecerdasan Ibn Khaldun dalam menganalisis persoalan politik dan negara. Di mana ashabiyah merupakan kunci lahir dan terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang siap merespon segala kondisi yang terjadi dilingkungannya. Sebaliknya, jika unsur ashabiyah suatu masyarakat sudah melemah, maka negara itu berada dalam ancaman keruntuhan. Alhasil, sampai sekarang tesis tersebut masih terbukti benar, dan bahkan teori ashabiyah ini menjadi inspirasi bagi pergerakan politik kontemporer.
Ibn Khaldun memisahkan istilah ashabiyah menjadi dua pengertian[1]. Pertama, bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban.
Pengertian kedua bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks  pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan dan tata nilai dalam masyarakat muslim. Karena akan mengaburkan nilainilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.
Untuk detail tulisan ini, penulis membatasinya dengan memfokuskan perbincangan pada seputar teori ashabiyah dalam ranah sosial, cultural dan kenegaraan.

II.        Sosok Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya Abdurrahman Abu Zaid yang kemudian mendapat gelar Waliyyuddin, ia lahir di Tunisia pada awal bulan Ramadhan 732 H. (1332 M) dan meninggal di Kairo Mesir pada tanggal 25 Ramadhan 808 H. (1406 M). Ibn Khaldun merupakan tokoh muslim terkemuka, bahkan, di zamannya ia dikenal sebagai ilmuan pioner yang memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasan-alasan untuk mendukung fakta-fakta yang terjadi.[2]
Ibn Khaldun juga terkenal sebagai ilmuan sosiologi, ekonomi, politik, serta pernah juga terjun dalam kancah politik praktis. Itu semua tidak terlepas dari latar belakang keluarganya yang pernah menjadi politisi, intelektual, sekaligus aristokrat. Bahkan sebelum pindah ke Afrika, keluarganya pernah menjadi pemimpin politik di Moor Spanyol. Pendidikan Ibn Khaldun dimulai dari ayahnya sendiri yang bertindak sebagai guru pertama. Kemudian belajar bahasa kepada Abu Abdillah Muhammad Ibnu al-Arabi al-Husairi, Abu al-Abbas Ahmad Ibnu al-Qushar, serta Abu Abdillah al-Wadiyashi. Belajar fiqh kepada Abi Abdillah Muhammad al-Jiyani dan Abu al-Qassim Muhammad al-Qashir. Selain itu, Ibn Khaldun juga belajar ilmu logika, teologi, matematika, dan juga astronomi kepada Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ibrahim al-Arabi.[3]
Pada tahun 1354 ia memulai karir politiknya, dengan menjabat sebagai sekretaris Sulthan Abu Inan dari Fess Maroko. Namun sayang pada tahun 1357 Ibn Khaldun dicurigai sebagai penghianat sehingga dipenjara selama 21 bulan. Kemudian dibebaskan kembali setelah Abu Inan wafat, dan pemerintahan saat itu dipegang oleh Abu Salim, yang kemudian merehabilitasi namanya, sehingga kembali lagi menjabat pada salah satu posisi penting. Pada tahun 1361 karena terjadi intrik politik yang menyebabkan terbunuhnya Abu Salim, lagi-lagi Ibn Khaldun dicurigai, dan memaksanya untuk pindah ke Granada.[4]
Di Granada Ibn Khaldun diterima secara hormat oleh Sultan Mahmud V, dan pada tahun 1364 memberinya kepercayaan dengan mengutusnya sebagai duta ke istana Pedro el Cruel, seorang raja kristen Castilla di Seville untuk mengadakan diplomasi perjanjian damai antara kedua kerajaan. Karena misinya berhasil, selain memberi kesan mendalam, ternyata keberhasilan tersebut mengundang kecemburuan Perdana Menteri Ibnu al-Khattib yang merasa popularitasnya memudar. Karena situasi tidak bersahabat dan kebetulan mendapat undangan dari Abu Abdullah (Penguasa Bouqie) untuk diangkat menjadi Perdana Menteri, maka pada tahun 1365 ia memenuhi undangan tersebut. Namun pada tahun berikutnya ia sudah pindah ke Konstantin menjadi pembantu Raja Abdul Abbas. Kemudian setelah merasa tidak dipercaya lagi menduduki jabatan penting, Ibn khaldun memilih menetap di Biskra. Akhirnya, di sanalah ia memutuskan untuk meninggalkan panggung politik praktis yang dulu pernah melambungkan dan membesarkan namanya, lalu lebih memilih menekuni bidang kesarjanaannya.[5]

III.      Ringkasan Singkat Buku Fikr Ibn Khaldun, al-'Ashabiyah wa ad-Dawlah

Adapun yang menjadi alasan menapa Abid aljabiri menulis desertasi tentang pemikiran Ibnu Khaldun adalah ingin mengembalikan intisari pemaknaan yang yang telah dituliskan oleh Ibnu khaldun dalam Mukaddimahnya, karena ia melihat banyaknya kekeliruan para peneliti dalam menjadikan Mukaddimah sebagai sumber ditambah lagi pemahaman mukaddimah sulit dipahami. Kita dapat melihat ketika gagasan ibn khaldun di dompleng untuk kepentingan pemikiran yang dikembangkannya, padahal jika kita teliti secara seksama, Ibn Khaldun tidak menulis segala sesuatu tentang sosial, politik dan ekonomi secara secara gambling dan sistematis. Oleh karna itu abid menginginkan untuk reorisinalitas pemikiran kepada sang pemiliknya Ibnu Khaldun[6].
Abid aljabiri mengungkapkan dalam mukaddimah desertasinya:
Oleh karena itu kalau kita concern melakukan studi pemikaran ibnu khaldun dalam konteks yang genuine: yaitu konteks penelitian atau pengalamannya dan kondisi-kondisi semasanya. Dan sesuai dengan keterangan budaya yang mengelilinginya. Maka hal ini tidak akan memberikan pengertian kepada kita bahwa pemikiran ini mati yang terputus hubungannya dengan konsentrasi dan aktifitas pemikiran kita. Kita spakat bahwa pemikiran ibnu khaldun adalah pemikiran filosofis karena dalam menelaaahnya perlu tambahan ekstra untuk bisa meneliti dan studi kritisnya. Sehingga dalam catatan mukaddimahnya bukan hanya merekam rincian-rincian sejarah arab islam yang terepenting dan krusial saja, bahkan menurut abid jabiri bahkan mukaddimah memang refleksi dari sejarah arab islam tersebut. Refleksi dari peristiwa atau kejadian-kejadian fakta arab secara mendalam, yang berjalan dan bertemu di dalam struktur abad-abad pertengahan. Dimana sebuah struktur-struktur baru yang harusnya dibangun di masa sekarang, di hari ini[7].
Menurut Ibnu khaldun “Ashabiyah” kunci yang akan menjawab problematika sejarah Islam sampai pada masanya. Ashabiyah bukan hanya untuk masa tertentu, namun ashabiyah menjadi tawaran teori Ibn Khaldun  yang akan menentukan dalam pandangannya bentuk pembangunan dan pembentukan gerakan sejarah. Artinya ashabiyah akan membentuk peradaban dengan berbagai sendi-sendi yang harus dibangun melalui sejarah.

IV.     Ashabiyah dan Urgensinya
Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahamai sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.[8]
Menurut A. Rahman Zainuddin, dalam kerangka pemikiran Ibnu Khaldun perkembangan kekuasaan sangat dipengaruhi oleh Ashabiyah. Ashabiyah adalah faktor yang menggerakkan kekuasaan dan para pendukungnya untuk maju terus ke depan. Ia akan maju terus sampai pada suatu kali nanti, apabila ditakdirkan akan berhasil dalam usahanya, ia akan sampai ke puncak kekuasaan tertinggi, yang oleh ibnu khaldun dinamakan kekuasaan sempurna, yaitu kekuasaan Negara.[9]
Seperti disampaikan Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, bahwa ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan. Tanpa dibarengi ashabiyah, maka keberlangsungan dan eksistensi suatu Negara tersebut akan sulit terwujud, serta sebaliknya, negara tersebut berada dalam ancaman disintegrasi dan kehancuran[10].
Mengenai alasan diperlukannya ashabiyah tersebut, Ibn Khaldun mengemukakan dua premis penting. Pertama, dalam teori tentang berdirinya negara berkenaan dengan realitas kesukuan. Ia berpendapat bahwa orang tidak mungkin mendirikan negara tanpa didukung persatuan dan solidaritas yang kuat. Di dalamnya terdapat ajakan untuk senantiasa waspada dan siaga sepenuh jiwa dan raga untuk mempertahankan negaranya.[11]
Kedua, bahwa proses mendirikan negara itu harus melalui perjuangan yang keras dan berat, dengan mempertaruhkan nyawa. Kalau dirinya tidak mampu menundukkan lawan maka dirinya sendiri yang akan kalah atau binasa. Oleh sebab itu, dibutuhkan kekuatan yang besar untuk mewujudkannya. Dengan demikian, terbentuknya Ashabiyah (solidaritas) ini mutlak dibutuhkan.[12]
Kemudian dalam pembentukan ashabiyah tersebut, Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama mempunyai peran penting dalam membentuk persatuan tersebut. Menurutnya, semangat persatuan rakyat yang dibentuk melalui peran agama itu tidak bisa ditandingi oleh semangat persatuan yang dibentuk oleh faktor lainnya.[13] Baik itu suku, kebangsaan, keturunan, maupun keluarga sekalipun.
Oleh karena itu penulis mencoba untuk mengklasifikasikan Ashabiyah yang yang dimaksudkan oleh Ibn Khaldun, seperti yang telah kami sampaikan pada pendahuluan bahwasanya ashabiyah secara umum dipisahkan oleh ibn khaldun menjadi Ashabiyah Positif dan ashabiyah Negatif.

a)      Ashabiyah dibidang Sejarah
Dalam kitab Al-‘ibar Ibn Khaldun membahas secara rinci tentang sejarah bangsa arab, zaman dimana masyarakat arab arab terdiri dari bangsa Barbar, yang terdiri dari penduduknya tinggal menetap dan hidup mengembara. Dan masyarakat budaya (hadharah) yang lebih modern yang hidupnya telah menetap, sudah berdagang dan sudah tentu mengalami kemajuan peradaban[14].
Dalam pandangan Ibn Khaldun sejarah merupakan hal yang rasional, factual dan terbebas dari mitos. Sejarah bukan untuk dimonopoli, para ahli sejarah cendrung mengangkat fakta hanya bersifat narrative untuk kepentingan suatu bangsa—sejarah milik semua orang dan saling memberi pengaruh bukan mempolitisis sejarah menjadi kebanggaan suatu bangsa[15], beliau juga tidak setuju dengan menjeneralkan sejarah pada pada tiga sumber; Shem, Ham, and Japhet, seperti sejarah arab pada abad pertengahan. Ibn Khaldun selalu mencerminkan pemikirannya mengenai manusia dan peri kehidupannya apa adanya, tanpa rekayasa. Secara singkat bagi ibn khaldun menyampaikan, ekonomi, alam dan agama kesatuan yang mempengaruhi gerak sejarah[16]
Hukum sejarah menurut ibn khaldun adalah masalah perubahan dalam ungkapan beliau:
Dunia dan bangsa-bangsa dengan segala kebiasaan dan system kehidupan tidaklah terus menerus dalam keadaan dan cara yang konstan. Semua ditentukan oleh perbedaan-perbedaan dan menurut hari-hari, dan periode-periode serta oleh perpindahan dan suatu kedaan kepada keadaan lainnya, individu-individu, waktu-waktu, kota-kota mengalami perubahan, maka demikian juga daerah-daerah iklim distrik, periode-periode, Negara-negara mengalami perubahan, karena memang demikianlah hukum yang ditentukan oleh Allah kepada makhluk-Nya.

Penjelasan Ibn Khladun mengandung arti bahwa perubahan bagi sejarah merupakan hukum yang dianggap sebagai suatu keharusan, dan peradaban itu berubah, maka pokok perubahan dan pengembangan sejarah adalah ashabiyah. Peran ashabiyah dalam bidang sejarah ini terutama pada eksistensi suatu Negara sangat berkaitan, karena dengan lemahnya ashabiyah maka suatu Negara atau dinasti akan mengalami kehancuran, sehingga akan muncul Negara atau dinasti baru.

b)     Ashabiyah di Bidang Agama
Ashabiyah akan mempunyai landasan bilamana perasaan atau jiwa itu didasarkan pada faktor-faktor keagamaan atau faktor dunidawi yang legal, artinya Agama memiliki arti penting dalam Ashabiyah.
Agama erat kaitannya untuk kelancaran dan kemajuan bagi ashabiyah, karena seorang pemimpin yang tetap taat beragama maka dia akan tetap melanggengkan ashabiyah dalam kepemimpinannya. Namun menurut Ibn Khaldun pendekatan Ashabiyah terhadap masalah-masalah kegamaan, ashabiyah bukanlah pendekatan yang tepat. Karena agama jarang menjadi sentral pemikiran manusia, hal ini memang sedikit membingungkan, dengan alasan pendekatan terhadap kehidupan manusia khususnya, ashabiyah bukanlah mutlak dari pendekatan keagamaan[17]

c)      Ashabiyah di Bidang Negara
Kekuasaan Negara dalam pengertian ibn khaldun adalah dominasi dan memerintah atas dasar kekerasan serta tidak adanya kepuasan dalam memerintah. Penerapan ashabiyah dalam sebuah Negara menurut Ibn Khaldun haruslah menggunakan satu ciri khas yaitu menceritakan keadaan sebagaimana adanya, karena sebuah Negara yang berbudaya terbentuk melalui pembangunan dan penaklukan kota-kota oleh masyarakat primitive yang memiliki ashabiyah yang kuat. Tujuan pembentukan Negara adalah mewujudkan keinginan-keinginan alamiah dan mengaktualisasikan potensi-potensi dan kesempurnaan hidup manusia
Ashabiyah tetap dianggap sebagai faktor esensial bagi kelanjutan Negara. Besarnya suatu Negara, luasnya suatu daerah dan bagaimana Negara itu berpengaruh pada Negara lain itu sangat tergatung pada besarnya kekuatan pendukungnya, oleh sebab itu suatu Negara tidak dapat didirikan tanpa adanya Ashabiyah.
Ashabiyah pada dasarnya bukanlah suatu hal yang kongkrit atau bisa kita katakan suatu hal yang absrak tanpa wujud dan juga hanya terjadi pada hubungan yang ada pertalian darah saja. Karena itu ashabiyah ini merupakan hubungan kelompok yang tidak berhubungan darah namun mempunyai tujuan yang sama ‘Asabiya is a function of lianage affiliation or something that fulfils the role of such affiliation’.[18] Orang-orang tersebutpun akan mempertaruhkan jiwa raganya untuk mempertahankan tujuan yang sudah disepakati bersama, termasuk tujuan untuk mempertahankan eksistensi suatu Negara.

d)     Ashabiyah di Bidang Politik
Manusia dan politik memeiliki hubungan saling mengikat antara satu dengan yang lainnya, kehidupan manusia tidak mungkin terlepas dari politik, karena antara manusia dan politik memiliki hubungan penting dalam segi kehidupan bermasyarakat. Namun hubungan ini memliki kekhasan berdasarakan dengan definisi politik sendiri yang lebih bersifat kekuasaan, kekerasan dan pemaksaan. Sehingga terkesan menghalangi pencapaian orang lain, demi pencapaian tujuan pribadi. Seperti diungkapkan worsley:
Kita dapat dkatakan bertindak secara politis apabila kita menghalangi orang lain sehingga kita bertindak sesuai dengan apa yang kita inginkan dari mereka… dengan definisi ini, tindakan menghalangi dalam hubungan apapun bersifat politis. Semua jenis tekanan, mulai dari perang, penyiksaan yang terorganisir sampai pada nilai-nilai yang tersembunyi dalam pembicaraan antar pribadi, semua itu merupakan dimensi yang bersiat politis[19]

Peran ashabiyah dalam perpolitikan tidaklah begitu berpengaruh, karena politik merupakan sesuatu yang dilakukan bukan menggunakan perasaan, tentunya hal ini dapat dilihat sepanjang hidup Ibn Khaldun, dimana beliau sering singgah di rumah tahanan. Dalam perpolitikan para penguasa hanya mengandalkan logika saja, sedangkan ashabiyah merupakan hal; yang berhubungan dengan perasaan.

e)      Ashabiyah di bidang ekonomi
Konsep ekonomi yang diajukan ibnu khaldun merupakan obat resesi ekonomi, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan ekspor pemerintah. Pemerintah merupakan pasar terbesar baik pendapatan maupun penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka sangat wajar jika pasar lain ikut turun.
Ada beberapa poin pokok bahasan ekonomi ibnu khaldun, yang pertama harus dimulai dengan nilai, seterusnya pembagian kerja, system harga, hukum penawaran, dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran public, daur perdagangan, pertanian, industry & perdagangan, hak kemakmuran[20].
Konsep diatas terlihat jelas akan membangun ashabiyah ekonomi kerakyatan—kekuatan ashabiyah ini nantinya akan membangun sinergisitas dengan ashabiyah dibidang lainnya. Lagi-lagi peran Negara menjadi sentral dalam membangun sector ashabiyah dalam menguatkan sendi-sendi kehidupan yang memiliki nilai filosofis yang tinggi.

V.       Penutup
Apa yang telah kami sampaikan diatas merupakan gambaran singkat ashabiyah atau solidaritas sosial dalam pandangan Ibn Khaldun. Meski bersifat sederhana, dan tentunya banyak reduksi di sana-sini, namun bisa disimpulkan bahwa dalam penafsiran sosial Ibn Khaldun, yang terpenting adalah solidaritas sosial. Kekuasaan yang tidak ditunjang oleh solidaritas sosial, akan rapuh dan pada akhirnya tenggelam di telan bumi melalui pergeseran-pergeseran sosial yang tentu amat dahsyat terjadi. Negara (masyarakat) juga perlu memiliki cita-cita luhur demi menegakkan keadilan yang diharapkan bisa dirasakan oleh semua rakyat dalam lingkup negara.
Untuk mencapai cita-cita bersama yang luhur, diperlukan suatu komunikasi bersama dalam rangka memahami dan mengakomodir kepentingan bersama. Menurut Olaf Schumann, urgensi dialog (komunikasi) dalam masyarakat adalah untuk memberikan penjelasan dan mengembangkan suatu pemahaman sesuai dengan tradisi filsafat dan agama masing-masing demi menjamin nilai-nilai dan norma-norma yang tinggi agar dapat diterima masyarakat secara bersama. Di sini masyarakat perlu mencari suatu landasan dan wawasan yang disetujui bersama. Ketika sebuah landasan dan wawasan masyarakat (sosial) sudah disepakati bersama, maka solidaritas sosial pun akan terbangun dengan kuat, dan pada akhirnya eksistensi masyarakat (negara) juga menjadi tegar dan kokoh[21].


Reference
Huda, Nurul, Pemikiran Ibn Khladun tentang Ashabiyah, Jurnal SUHUF, Vol. 20, No. 1, Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mei 2008

Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, Cet I

Baali, Fuad & Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, tahun 1989, Cet I

Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat Dan Timur, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet I

Aljabiri, Muhammad Abid, Fikr Ibn Khaldun, al-'Ashabiyah wa ad-Dawlah, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-'Arabiah, 1994, Cet V

Esposito. Jhon L. (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Mizan, 2001, Cet I

Zainuddin. A. Rahman, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, Cet I

Khaldun, Ibn, The Muqaddimah: An Introduction to History, (trans. Franz Rosenthal), Bollingen Series Princeton University Press, 1989

Alfiyah, Hanik Yuni, Ibn Khaldun dan tafsir sosial, Jurnal PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006

Al-Azmeh, Aziz, Ibn Khaldun, New York: Routledge, 1990

Handayani, Tri Wahyuni, Pemikiran Ibn Khaldun tentang ‘Ashaiyah terhadap Masyarakat Modern (Dalam Konteks Indonesia), Skripsi Faskultas Sosial dan Humaniora, Yogakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010

Beik, Irfan Syauqi & Laily Dwi Arsyianti, Analisa Ekonomi Pertanian Ibnu Khaldun, Republika: Iqtishรถdia Jurnal Ekonomi Islam, 30 September 2010


[1] Nurul Huda, Pemikiran Ibn Khladun tentang Ashabiyah, Jurnal SUHUF, Vol. 20, No. 1, Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mei 2008. hal 41 - 52
[2] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, Cet I. hal 421
[3]  Fuad Baali & Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, tahun 1989, Cet I, hal 9
[4] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat Dan Timur, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet I, hal 13
[5]  ______________________, Ibnu Khaldun…, hal 13-14
[6] DR. Muhammad Abid Aljabiri, Fikr Ibn Khaldun, al-'Ashabiyah wa ad-Dawlah, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-'Arabiah, 1994, Cet V, hal 9
[7] DR. Muhammad Abid Aljabiri, Fikr Ibn…,  hal 10
[8] Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 198
[9] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, Cet I, hal 125-126
[10] Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, (trans. Franz Rosenthal), Bollingen Series Princeton University Press, 1989, hal 123-124.
[11] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan… hal 160
[12] Ibid, hal 155
[13] ibid
[14] Menurut Ibn Khaldun ras masyarakat yang paling menonjol adalah ras Arab. Pertama, ras Arab dengan ciri pengembara adalah ras perampok dan pemalas. Mereka merampok menurut kemampuan mereka tanpa takut bahaya. Setelah itu mereka lari bersembunyi di gurun pasir, dan mereka tidak mau ambil resiko perang kecuali bila terdesak mempertahankan diri. Kedua, ras Arab mempunyai naluri suka mengembara dan tidak mau terikat oleh ketentuan hukum dan politik. Watak ini berbeda jauh dengan watak etnis menetap. Ketiga, etnis Arab jauh lebih pengembara dari etnis mana pun. Teori ini terkenal dengan “teori ras”; dan ini menimbulkan pro-kontra dari ilmuwan lain, dikutip oleh Hanik Yuni Alfiyah, dalam Syamsudin Abdullah, Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama (Logos Wacana Ilmu: 1997), hal 60, lihat. Hanik Yuni Alfiyah, Ibn Khaldun dan tafsir sosial, Jurnal PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006, hal 54

[15] Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun, New York: Routledge, 1990, hal 11-12
[16] Aziz Al-Azmeh, Ibn…, hal 15
[17] Tri Wahyuni Handayani, Pemikiran Ibn Khaldun tentang ‘Ashaibyah terhadap Masyarakat Modern (Dalam Konteks Indonesia), Skripsi Faskultas Sosial dan Humaniora, Yogakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010
[18] Aziz Al-Azmeh, Ibn…, hal 31
[19] Dikutip oleh oleh A. Rahman Zaoinuddin, dalam Peter Worsley, The distribution of power in industrial society, London: Heinemann Educational Books, 1973. Lihat A. Rahman Zaoinuddin, Kekuasan dan Negara… hal 60
[20] Dr Irfan Syauqi Beik & Laily Dwi Arsyianti, Analisa Ekonomi Pertanian Ibnu Khaldun, Republika: Iqtishรถdia Jurnal Ekonomi Islam, 30 September 2010

[21] Dikutip oleh  Hanik Yuni Alfiyah dalam Olaf Schumann, “Dilema Islam Kontemporer: Antara Masyarakat Madani dan Negara Islam,” dalam Paramadina: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 1 No. 2 (1999), 51. Lihat; Hanik Yuni Alfiyah, Ibn Khaldun dan tafsir sosial, Jurnal PARAMEDIA, Vol. 7, No. 2, April 2006, hal 54

Minggu, 19 Desember 2010

Perempuan Memimpin


Noviandy Husni

 “tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan
 kekuasaan masyarakat pada perempuan” (HR.Bukhari, dari Abi bakrah ra).

‘Hidup adalah perubahan’ mungkin ini kata pamungkas yang sering diucapkan orang, karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu akan mengalami perubahan. Bagaimana dengan nilai, apakah nilai juga akan berubah? Islam dengan Alqurannya memiliki nilai tersendiri yang diyakini oleh setiap umatnya. Dalam kehidupan sagala sesuatunya selalu dipertimbangkan dengan rasio dan akal. Oleh karena itu produk hukum islam yang termasuk didalamnya politik kenegaraan tidaklah dapat diterima begitu saja, karena akal sehat ada didalamnya. Salah satunya adalah kepemimpinan politik perempuan. Pertanyaannya apakah hadits diatas masih relevan dengan kondisi saat ini untuk dijadikan landasan tidak dibenarkan kepemimpinan politik perempuan? Kami memandang hadits tersebut tak relevan lagi dengan perubahan kondisi struktur sosial, ekonomi, dan teknologi saat ini.

Kesepakatan Ulama Syarat mutlak seorang pemimpin adalah Laki-laki, hal tersebut  disandarkan pada respon nabi saat mendengar berita bahwa masyarakat Persia telah memilih wanita Putri Kisra sebagai Pemimpin dan lahirlah Hadits diatas, hadits tersebut dipahami para ulama sebagai syarat pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik, karena tu keluarlah fatwa yang menyatakan ‘perempuan tidak sah menjadi khalifah/imam’  Fatwa ini bersifat baku dan universal, tanpa melihat aspek-aspek terkait dengan hadits; kapasitas diri nabi ketika mengucapkan hadits, suasana yang melatar belakangi munculnya hadits, setting sosial yang yang juga melatarbelakangi hadits[1]

Dari segi setting sosial potik dapat terkuak, bahwa menurut tradisi yang berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan kepala negara (raja) dipegang laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H tersebut menyalahi tradisi, sebab yang diangkat sebagai raja bukan laki-laki, melainkan perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan.
Dari setting sosial dan politik yang terjadi pada masa tersebut ada 2 hal yang dapat kami jadikan benang merah, diantaranya adalah:
  1. Wajar Nabi saw yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sukses. Bagaimana mungkin akan sukses, jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. 
  2. Berkaitan dengan hadis kepemimpinan politik perempuan di atas, dapat dikatakan, Nabi saw saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai Nabi dan Rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami, pendapat Nabi saw yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi’) pada saat hadis itu disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dari gambaran realitas diatas kami memandang pengangkatan putrid Kisra sebagai raja bukanlah pensyaratan syar’i untuk menjadi kepala Negara. Namun, hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi saw yang memberikan peluang adanya dua kemungkinan.  Pertama, boleh jadi, sabda Nabi saw itu merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan jaya dikarenakan sikapnya menghina dan memusuhi Islam. Kedua, boleh jadi, hal itu merupakan pendapat pribadi Nabi saw yang didasarkan pada realitas tradisi masyarakat saat itu yang tidak memungkinkan seorang perempuan memimpin negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka.

Fatima Mernisi juga melihat dari sisi yang sama, namun juga mengkaji dengan telaahan yang sedikit berbeda; Mernisi menelaah hadits diatas adalah shahih menurut Bukhari, dengan tidak meragukan kemampuan Abu Bakrah dalam mengingat hadits seperempat abad yang lalu, namun jika melihat otobiografi Abu Bakrah tidak semua Ulama Figh menjadikan hadits diatas sebagai landasan pengambilan hukum terhadap peran perempuan di kancah perpolitikan.

Dalam kajian sosial historis ketika Aisyah ingin mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dalam membaikot kepemerintahan Ali yang dianggap dhalim tidak menghakimi pembunuh Utsman, tidak seorangpun dari pemuka Islam mengemukakan argument seperti seperti Abu Bakrah[2], kaum Muhajirin menyampaikan keberatannya karena ini adalah perang saudara, dan akan menuai fitnah, begitu juga dengan abu Musa yang diminta dukunganya oleh Ali, Abu Musa sebagai Gubernur Kufah bersikap tidak perlu menjawab panggilannya untuk bergabung, baginya kewajiban seorang muslim dalam menghadapi fitnah adalah menentang segala bentuk keikutsertaan, dikuatkan dengan hadits-hadits fitnah dan perang saudara.

Sangat mengejutkan para pembaca menurut Fatima, dari riwayat perang Unta tersebut adalah rasa hormat yang diperlihatkan masyarakat terhadap ‘Aisyah, bagaimanapun posisi mereka dalam peperangan itu, tidak pernah beliau di cemeooh, bukan saja oleh pemimpin politik manapun, bahkan orang awam sekalipun. Hanya riwayat syiah yang menyalahkan Aisyah. Lalu, mengapa Abu Bakrah membedakan dirinya dengan memperlihatkan sikap misoginistik yang belum pernah ada sebelumnya. Disamping itu menurut Fatima, tidak ada hadits tersirat yang mensyaratkan pemimpin haruslah laki-laki


Reference:
Fatima Mernissi, Wanita Dalam Islam, Bandung: Pustaka. Th 2004, Cet I
Dr. Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas? ‘Kajian Hadits-hadits Misoginis, Yogyakarta: eLSAQ press. Th. 2005, Cet II.
Dr. Nurjannah Ismail, Pemimpin Perempuan, Harian Serambi Indonesia, Opini, 16 Oktober 2010


[1] Pada saat itu Nabi saw pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka memeluk Islam. Di antara pembesar yang dikirimi surat adalah Kisra Persia. Adalah Abdullah ibn Huzaifah Al-Shami yang diutus Rasul untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Oleh pembesar Bahrain surat tersebut diberikan kepada Kisra. Kisra menolak dan bahkan merobek-robek surat Nabi. Menurut riwayat Ibn Al-Musayyab, setelah peristiwa itu sampai kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda, “Siapa saja yang telah merobek-robek suratku, dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu,”
[2] Walaupun argument (hadits) yang dikeluarkan setelah kekalahan Aisyah di Perang Jamal

The Moving Quran


Al-Quran Bergerak
(sebuah Pendekatan Kognitif linguistic & Poetic)
Noviandy Husni

Apakah alquran itu bergerak? Jawabannya adalah bagaimana kita memahaminya? Pendekatan Cognitive Linguistic (CL) dan Cognitive Poetic merupakan salah satu pendekatan dalam memahami pergerakan Al-Quran. Karena metode yang dikembangkan dalam filologi dan sastra kerap sekali diabaikan dalam memahami Al-Quran secara konstektual. Bahasa (linguistic) merupakan kata benda atau verbal belaka, pertanyaannya siapakah yang akan memberi nilai pada benda itu? Kognitiflah yang akan memberikan nilai karena cognitive merupakan kata sifat yang menunjukan perhatian yang diberikan kepada proses mental pada kata benda; baik itu linguistic maupun puisi

Dalam menyingkap makna dibalik ayat Al-Quran tentunya melawati proses dalam memahami kata demi kata, Beaucamp menginpirasikannya dengan kehidupan di alam semesta yang menyimpan nilai-nilai luhur; sehingga pemahaman terhadap alquran tidak hanya dipahami secara tekstual, tapi lintas disiplin; sastra, filologi, hermeneutic, dalam menyingkap makna secara cognitive linguistic

Kata-kata dalam alquran merupakan kata-kata yang penuh nilai dan visioner lafdhan wa ma’man. Secara harfiah kata-kata dalam alquran telah jelas bentuk perintahnya, kapan pelaksanaannya, bahkan tujuan pelaksanaannya. Namun dilain sisi kata-kata itu hidup dan bergerak sesuai zamannya dengan nilai kandungan yang masih sama dengan waktu kelahirannya. Artinya visioner bentuk dan sifatnya, dan bukan berarti menafikan grammatical tekstual ayat tersebut

Linguistic dan puisi seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya merupakan benda yang memiliki sisi  umum perhatian terhadap bahasa, tapi disisi lain puisi merupakan seni verbal. Sedangkan cognitive merupakan perhatian dan pemahaman terhadap proses mental dan kemampuan seperti persepsi, perhatian memori, emosi, penalaran, dan sebagainya. Pertanyaannya apakah pantas dengan pengertian diatas kita memasukkan Al-Quran bagian dari seni verbal yang memiliki pemahaman seperti yang telah disebutkan itu? Sedangkan Cognitive Linguistic didefinisikan oleh Dirven sebagai teori linguistic yang menganalisis bahasa dalam kaitannya dengan domain kognitif lain seperti pengalaman tubuh dan mental, skema gambar, persepsi, perhatian, melihat bingkai memori, kategorisasi, pikir abstrak, emosi, penalaran, penelusuran, dan lain sebagainya. Artinya Alquran merupakan teori linguistic dalam memahami dirinya sendiri dan realitas kehidupan likulli zaman yang tetap bertumpu pada nilai yang absolute. Sekali lagi bukan hanya pada kajian filologi dan sastra semata.

Cognitive linguistic dan cognitive poetic begerak lebih jauh dengan berbagai sisi kajian, jika hanya satu sisi akan terlihat kekurangan disisi yang lain, dalam kajian fenomenologi kita akan mendapatkan satu pandangan yang berbeda dengan tinjauan filologi, namun bukan berarti terbentur antara keduanya. Kognitif linguistic dan puisi berperan dalam berbagai sisi kajian dan menengahi kajian-kajian tersebut. Secara singkat cognitive linguistic dan cognitive poetic akan menggambarkan pemahaman Al-quran dengan memvisualisasikan Al-Quran dari berbagai dimensi, sehingga pemahaman yang terbangun terintegrasi dengan pemahaman-pemahaman lainnya

Cognitive linguistic memandang Scenario Allah berada pada sunnatullah-Nya, inspirasi yang Allah disampaikan kepada rasul dan nabi-Nya karena mereka petunjuk bagi ummat manusia. Metode ini akan menginspirasikan kita pada visualisasi teks alquran yang terus bergerak—makna kerasulan akan tertanam pada kehidupan umat-Nya, karena miniature sejarah merupakan salah satu visualisasi alquran dan akan menjadi visualisasi tersendiri pada kontek kekinian walaupun melalui proses metafora.