Minggu, 19 Desember 2010

Perempuan Memimpin


Noviandy Husni

 “tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan
 kekuasaan masyarakat pada perempuan” (HR.Bukhari, dari Abi bakrah ra).

‘Hidup adalah perubahan’ mungkin ini kata pamungkas yang sering diucapkan orang, karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu akan mengalami perubahan. Bagaimana dengan nilai, apakah nilai juga akan berubah? Islam dengan Alqurannya memiliki nilai tersendiri yang diyakini oleh setiap umatnya. Dalam kehidupan sagala sesuatunya selalu dipertimbangkan dengan rasio dan akal. Oleh karena itu produk hukum islam yang termasuk didalamnya politik kenegaraan tidaklah dapat diterima begitu saja, karena akal sehat ada didalamnya. Salah satunya adalah kepemimpinan politik perempuan. Pertanyaannya apakah hadits diatas masih relevan dengan kondisi saat ini untuk dijadikan landasan tidak dibenarkan kepemimpinan politik perempuan? Kami memandang hadits tersebut tak relevan lagi dengan perubahan kondisi struktur sosial, ekonomi, dan teknologi saat ini.

Kesepakatan Ulama Syarat mutlak seorang pemimpin adalah Laki-laki, hal tersebut  disandarkan pada respon nabi saat mendengar berita bahwa masyarakat Persia telah memilih wanita Putri Kisra sebagai Pemimpin dan lahirlah Hadits diatas, hadits tersebut dipahami para ulama sebagai syarat pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik, karena tu keluarlah fatwa yang menyatakan ‘perempuan tidak sah menjadi khalifah/imam’  Fatwa ini bersifat baku dan universal, tanpa melihat aspek-aspek terkait dengan hadits; kapasitas diri nabi ketika mengucapkan hadits, suasana yang melatar belakangi munculnya hadits, setting sosial yang yang juga melatarbelakangi hadits[1]

Dari segi setting sosial potik dapat terkuak, bahwa menurut tradisi yang berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan kepala negara (raja) dipegang laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H tersebut menyalahi tradisi, sebab yang diangkat sebagai raja bukan laki-laki, melainkan perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan.
Dari setting sosial dan politik yang terjadi pada masa tersebut ada 2 hal yang dapat kami jadikan benang merah, diantaranya adalah:
  1. Wajar Nabi saw yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sukses. Bagaimana mungkin akan sukses, jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. 
  2. Berkaitan dengan hadis kepemimpinan politik perempuan di atas, dapat dikatakan, Nabi saw saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai Nabi dan Rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami, pendapat Nabi saw yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi’) pada saat hadis itu disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dari gambaran realitas diatas kami memandang pengangkatan putrid Kisra sebagai raja bukanlah pensyaratan syar’i untuk menjadi kepala Negara. Namun, hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi saw yang memberikan peluang adanya dua kemungkinan.  Pertama, boleh jadi, sabda Nabi saw itu merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan jaya dikarenakan sikapnya menghina dan memusuhi Islam. Kedua, boleh jadi, hal itu merupakan pendapat pribadi Nabi saw yang didasarkan pada realitas tradisi masyarakat saat itu yang tidak memungkinkan seorang perempuan memimpin negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka.

Fatima Mernisi juga melihat dari sisi yang sama, namun juga mengkaji dengan telaahan yang sedikit berbeda; Mernisi menelaah hadits diatas adalah shahih menurut Bukhari, dengan tidak meragukan kemampuan Abu Bakrah dalam mengingat hadits seperempat abad yang lalu, namun jika melihat otobiografi Abu Bakrah tidak semua Ulama Figh menjadikan hadits diatas sebagai landasan pengambilan hukum terhadap peran perempuan di kancah perpolitikan.

Dalam kajian sosial historis ketika Aisyah ingin mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dalam membaikot kepemerintahan Ali yang dianggap dhalim tidak menghakimi pembunuh Utsman, tidak seorangpun dari pemuka Islam mengemukakan argument seperti seperti Abu Bakrah[2], kaum Muhajirin menyampaikan keberatannya karena ini adalah perang saudara, dan akan menuai fitnah, begitu juga dengan abu Musa yang diminta dukunganya oleh Ali, Abu Musa sebagai Gubernur Kufah bersikap tidak perlu menjawab panggilannya untuk bergabung, baginya kewajiban seorang muslim dalam menghadapi fitnah adalah menentang segala bentuk keikutsertaan, dikuatkan dengan hadits-hadits fitnah dan perang saudara.

Sangat mengejutkan para pembaca menurut Fatima, dari riwayat perang Unta tersebut adalah rasa hormat yang diperlihatkan masyarakat terhadap ‘Aisyah, bagaimanapun posisi mereka dalam peperangan itu, tidak pernah beliau di cemeooh, bukan saja oleh pemimpin politik manapun, bahkan orang awam sekalipun. Hanya riwayat syiah yang menyalahkan Aisyah. Lalu, mengapa Abu Bakrah membedakan dirinya dengan memperlihatkan sikap misoginistik yang belum pernah ada sebelumnya. Disamping itu menurut Fatima, tidak ada hadits tersirat yang mensyaratkan pemimpin haruslah laki-laki


Reference:
Fatima Mernissi, Wanita Dalam Islam, Bandung: Pustaka. Th 2004, Cet I
Dr. Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas? ‘Kajian Hadits-hadits Misoginis, Yogyakarta: eLSAQ press. Th. 2005, Cet II.
Dr. Nurjannah Ismail, Pemimpin Perempuan, Harian Serambi Indonesia, Opini, 16 Oktober 2010


[1] Pada saat itu Nabi saw pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka memeluk Islam. Di antara pembesar yang dikirimi surat adalah Kisra Persia. Adalah Abdullah ibn Huzaifah Al-Shami yang diutus Rasul untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Oleh pembesar Bahrain surat tersebut diberikan kepada Kisra. Kisra menolak dan bahkan merobek-robek surat Nabi. Menurut riwayat Ibn Al-Musayyab, setelah peristiwa itu sampai kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda, “Siapa saja yang telah merobek-robek suratku, dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu,”
[2] Walaupun argument (hadits) yang dikeluarkan setelah kekalahan Aisyah di Perang Jamal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar